Selasa, 30 Maret 2010

Awal Perang Saudara Antar Para Republiken

Awal Perang Saudara Antar Para Republiken
Jumat, 30 November 2007
Julius Pour

"Sabtu malam 30 November 1957. Aku sedang berjalan keluar, meninggalkan malam dana Perguruan Tjikini, tempat kedua anakku, Guntur dan Mega, bersekolah," kenang Presiden Soekarno.

Sekitar pukul 20.55, ketika sedang menuju ke mobilnya, terdengar ledakan. Semula dikira bunyi petasan, tetapi tiba-tiba disusul ledakan-ledakan lain. "Anak-anak berteriak sambil lari ketakutan memasuki gedung sekolah. Tamu-tamu berguling ke bawah kendaraan atau tercebur ke selokan. Puluhan orang terkena ledakan, ratusan terbanting ke tanah. Sebuah serangan pengecut yang berusaha membunuh Soekarno, Presiden Republik Indonesia." Percobaan pembunuhan dengan melempar granat itu kemudian disebut Peristiwa Tjikini. Aksi percobaan pembunuhan pertama kepada Bung Karno.

"Saya sedang mengantar anak ke RSUP di Salemba, maka tugas mengawal dipimpin Sudijo," kata Mangil Martowidjojo, Komandan Pengawal Pribadi Presiden (PPP), tim Polri pengawal Bung Karno sejak Proklamasi. Pada masa itu, tugas pengamanan Presiden ditangani dua tim. PPP mengawal Bung Karno dan keluarga, dibantu Polisi Militer mengamankan lingkungan Istana.

Mangil langsung ke tempat kejadian setelah dijemput sopirnya yang mengatakan, "Bapak digranat". Di lokasi, Sudijo menambahkan, "Bapak belum bersedia pulang. Pak Mangil saja yang mengajak…"

Bung Karno yang disembunyikan para pengawalnya di seberang jalan langsung menanyakan situasi, "Mangil, apa sudah datang bantuan?"

"Sudah Pak," jawab Mangil mantap meski dia sadar sedang berbohong. Pengalamannya mengajarkan, "Bapak harus selalu diyakinkan, Beliau tidak senang tetek-bengek penjelasan teknis…"

Bung Karno melanjutkan, "Bagaimana kondisi anak-anak?"

"Selamat. Semuanya sudah diantar ke Istana…"

Mangil mengungkapkan, "Bung Karno kemudian berdiri, memegangi pundak saya, berjalan menuju mobil cadangan yang sudah siap di Jalan Tjikini, langsung diantar ke Istana. Sewaktu sampai di Merdeka Timur, sebuah sedan dengan kecepatan tinggi ikut menyusul. Saya tidak mau ambil risiko. Segera saya perintahkan, hentikan mobil itu. Kalau nekat, tembak."

Senapan dikeluarkan, lampu sorot jip pengawal di belakang mobil Presiden diarahkan ke sasaran. "Ternyata Kolonel CPM Sabur, ajudan Presiden. Sambil melambai-lambaikan tangan dia berusaha menyusul. Perintah tembak saya batalkan…"

Secara kebetulan, malam itu ada siaran wayang kulit semalam suntuk dari RRI Pusat. Dengan demikian, berita Presiden lolos dari percobaan pembunuhan bisa dipancarkan lewat breaking news. Wakil Perdana Menteri Leimena kemudian menyatakan, pemerintah telah memutuskan Munas dan Munap (Musyawarah Nasional Pembangunan) dibekukan.

Senin (2/12) siang, Mayor Dachyar, Komandan Komando Militer Kota Besar Djakarta Raja (KMKBDR) mengumumkan, komplotan teroris yang mencoba membunuh Bung Karno sudah berhasil diringkus. Disebutkan, dalang peristiwa itu Kolonel Zulkifli Lubis, terakhir Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) tetapi sudah sejak beberapa waktu menghilang.

Zulkifli Lubis

Dengan menyebut nama Zulkifli Lubis, Peristiwa Tjikini langsung terkait perbedaan sikap dalam rencana membangun Angkatan Darat dari KSAD Kolonel AH Nasution dengan dukungan Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Kolonel TB Simatupang. Kelompok Bambang Supeno-Zulkifli Lubis curiga, rencana itu dalih menyingkirkan para perwira eks PETA hasil didikan Jepang. Sebab, dimulai dengan menutup lembaga pendidikan militer Chandradimuka di Bandung yang dipimpin para perwira TNI eks PETA.

Jumat pagi, 17 Oktober 1952, Nasution menggerakkan massa demonstran, dikawal 2 tank, 4 panser, dan 4 meriam ke depan Istana Merdeka. Mereka menuntut pembubaran parlemen, "…karena didominasi orang-orang federal yang tidak ikut berjuang". Meski digertak, Bung Karno ternyata menolak dengan alasan "Saya tidak mau jadi diktaktor."

Nasution dilengserkan dari dinas militer, selanjutnya Kolonel TB Simatupang dipaksa pensiun dini karena jabatan KSAP dihapus. Sebagai langkah kompromi, tokoh netral Kolonel Bambang Sugeng dijadikan KSAD dan Kolonel Zulkifli Lubis, penentang Nasution, sebagai Wakil KSAD.

Untuk menyelesaikan beda pendapat antarpimpinan militer, Februari 1955 diselenggarakan musyawarah di Yogyakarta, dihadiri 270 perwira AD se-Indonesia, termasuk Nasution yang datang dengan pakaian sipil. Bambang Sugeng kemudian meletakkan jabatan karena merasa tidak mampu melaksanakan Piagam Yogya, antara lain menyebutkan, Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Dwi Tunggal, sedangkan Bung Hatta sudah mundur dari jabatan Wapres."

Sebagai pengganti Bambang Sugeng ditetapkan Kolonel Bambang Utojo yang sudah pensiun, tanpa konsultasi dengan Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Akibatnya, dalam acara pelantikan, Wakil KSAD Zulkilfi Lubis tidak hadir, begitu juga pejabat teras MBAD dan korps musik AD. Bambang Utojo hanya bertahan sebentar, kemudian mundur dan kembalilah Nasution sebagai KSAD meski sudah tiga tahun berada di luar dinas militer dan ikut pemilu serta memimpin partai politik.

Pada sisi lain, akibat pengelolaan dana terlalu sentralistis, sejumlah panglima daerah bertekad melakukan pembangunan secara mandiri. Akhir Desember 1956, terbentuk Dewan Gajah di Medan, disusul Dewan Banteng di Padang, Dewan Garuda di Palembang, dan Dewan Manguni di Manado.

Dalam situasi serba tak menentu, tanggal 2 Maret 1957 di Makassar, Panglima TT IV Letkol Ventje Sumual membentuk Permesta, singkatan dari Perjuangan Semesta. Sepekan kemudian, para alumni Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) mengeluarkan petisi, mendesak pemerintah menyelenggarakan musyawarah nasional menampung tuntutan daerah.

"Nasution menolak. Sepuluh orang perwira yang melawan langsung dibebastugaskan, termasuk saya," kata Mayor (Purn) Alwin Nurdin. Tetapi, Djuanda, Perdana Menteri sekaligus Menteri Pertahanan, justru melakukan rekonsiliasi.

Musyawarah nasional

Tanggal 10 sampai 14 Maret 1957 Djuanda membuka Munas (Musyawarah Nasional) untuk merujukkan kembali Bung Karno dan Bung Hatta. Disusul Munap yang menerima semua tuntutan otonomi daerah berikut konsep pembangunan semesta.

Khusus di bidang militer, tercapai kesepakatan pemberian amnesti terhadap kolonel pembangkang yang diikuti menyebar angket menanyakan apakah mereka ingin terus dalam dinas militer atau keluar? Hasil angket akan diumumkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi tanggal 3 Desember 1957. Sayang, tiga hari sebelum pengumuman, meletus Peristiwa Tjikini.

"…seperti sudah dipersiapkan, hasil Munas dan Munap segera dibekukan dan dalam waktu 24 jam KMKBDR menyatakan telah bisa meringkus para penggranat Bung Karno, diikuti aksi kampanye, lebih tepatnya hetze sengit disertai intimidasi, menuduh Lubis dibantu para kolonel pembangkang dalang Peristiwa Tjikini," kata Alwin Nurdin melukiskan situasinya.

Apakah benar Lubis dalang aksi penggranatan?

"Untuk apa saya harus melakukan? Posisi kami sudah di atas angin karena usul desentralisasi pembangunan telah disetujui dalam Munas dan Munap, sementara amnesti umum akan segera diberikan. Bagaimana mungkin saya membakar rumah sendiri, sedangkan pintu gerbang perdamaian di depan mata?" jawab Lubis kepada tim pencari fakta (facts finding). Dia selalu menuntut agar bisa diadili secara terbuka sehingga fitnah terhadap dirinya bisa dijernihkan. Sesuatu yang selalu ditolak Nasution dengan alasan, Peristiwa Tjikini sudah selesai.

Siapa pelakunya?

Pengadilan yang berlangsung dalam SOB (negara dalam keadaan perang) menyatakan para teroris pengikut DI asal Pulau Bima, Nusa Tenggara Barat, yang telah menyusup ke Jakarta. Bung Karno mengakui, "Aku selalu ingat kepada sembilan anak dan seorang perempuan hamil yang jatuh tersungkur tak bernyawa di dekatku. Oleh karena itu, tahun 1963 aku membubuhkan tanda tangan menghukum mati Kartosuwirjo. Bukan untuk kepuasan, tetapi demi menegakkan keadilan..."

Menurut Ventje Sumual, "…harus dibedakan antara pihak yang melempar granat dan mereka yang memanfaatkan. Tuduhan memang langsung diarahkan kepada kami. Siapa pun, terlebih Bung Karno yang sedang emosi, pasti setuju kalau kami dituduh. Sebab kami kebetulan memang berseberangan dengan mereka yang sedang memegang posisi puncak militer dan politik."

Epilog Peristiwa Tjikini mendorong situasi memburuk. Dituduh terlibat, para pembangkang, awal Januari 1958, berkumpul di Sungai Dareh, Sumatera Barat, menuntut pembentukan kabinet yang berwibawa untuk menyelesaikan kemelut hubungan antara pusat dan daerah. Menurut Kolonel Maludin Simbolon, "…Berwibawa artinya lebih dipercaya daerah, yaitu Bung Hatta dan Sultan HB IX." Tuntutan ini dibiarkan, keluar ultimatum 10 Februari 1958, bentuk segera Kabinet Hatta-Sultan Yogya. Ultimatum ditolak, maka lima hari kemudian, Letkol Achmad Husein memproklamasikam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

"Peristiwa Tjikini merupakan turning point sejarah perjuangan Indonesia," kata Mayjen (Purn) Soekotjo, Wakil Ketua Legiun Veteran RI. "Sesama TNI harus bertempur, sama-sama memakai Merah Putih, sama-sama Republiken, sama-sama bertekad untuk mempertahankan Republik Proklamasi…"

Lantas, siapa memanfaatkan dan memetik keuntungan?

Alwin Nurdin melukiskan, "Bukan PRRI dan juga bukan Nasution. Justru PKI karena mereka bisa mengadu domba kami hingga saling bertempur dan berperang antarsesama pejuang."

Julius Pour, Wartawan dan juga Penulis Sejarah

Blog dr: http://202.146.5.33/kompas-cetak/0711/30/nasional/4036281.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar