Jumat, 09 April 2010

Saat-saat Jatuhnya Soekarno

Saat-saat Jatuhnya Soekarno

Perjalanan Terakhir Bung Besar

Jatuhnya Soekarno dari presiden merupakan peristiwa politik cukup menarik dan sangat bersejarah. Dimulai dengan Supersemar yang memberi "mandat" kepada Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan politik yang saat itu sangat kacau, sampai ditolaknya Pidato Nawaksara yang disampaikan oleh Presiden Soekarno.

Khusus mengenai Surat Perintah Sebelas Maret, menurut sebuah sumber, itu merupakan mandat atau perintah untuk menyelamatkan revolusi. Dan bukan pelimpahan kekuasaan, melainkan pelimpahan tugas. Menurut sumber itu pula, sebagai orang yang diperintahkan pemegang supersemar berkewajiban melaporkan kepada Soekarno apa yang dikerjakannya sesuai perintah itu.

Berikut ini adalah kronologis kejatuhan Soekarno yang dikutip dari berbagai sumber, dan sebagian besar, dikutip dari buku "Proses Pelaksanaan Keputusan MPRS No.5/MPRS/ 1996 Tentang Tanggapan Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara Republik Indonesia Terhadap Pidato Presiden/Mandataris MPRS di Depan Sidang Umum Ke-IV MPRS Pada Tanggal 22 Djuni 1966 Yang Berdjudul Nawaksara," dimulai dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).

Tanggal 11 Maret 1966

Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Revolusi/ Mandataris MPRS, mengeluarkan Supersemar, yang isinya antara lain: "Memutuskan dan memerintahkan: Kepada Letnan Jenderal Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi Pemimpin Besar Revolusi.

1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan pemerintah dengan panglima-panglima Angkatan lain dengan sebaik-baiknya.
3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung-jawabnya seperti tersebut diatas."


16 Maret 1966

Pangkopkamtib ---atas nama Presiden RI--- mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap sejumlah 15 menteri yang diduga terlibat G-30 S/PKI.

27 Maret 1966

Dilakukan perombakan terhadap Kabinet Dwikora. Sementara presiden tidak setuju kabinet itu dirombak. Banyak wajah-wajah baru yang dianggap kurang dekat dengan Presiden Soekarno. Tapi, tiga hari kemudian, kabinet itu pun dilantik.

21 Juni 1966

Jenderal TNI AH Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS dalam sidang MPRS. Sidang tersebut berlangsung sampai dengan 6 Juli 1966.

22 Juni 1966

Presiden Soekarno membacakan Pidato Nawaksara di depan Sidang Umum ke-IV MPRS, dan pimpinan MPRS melalui keputusannya No. 5/MPRS/1966 tertanggal 5 Juli 1966, meminta Presiden Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut.

6 Juli 1966

Sidang MPRS ditutup, dan mengeluarkan 24 Ketetapan, Sebuah keputusan, dan satu Resolusi. Salah satu diantaranya, Tap MPRS No. IX/MPRS/1966, yang menegaskan tentang kelanjutan dan perluasan penggunaan Supersemar.

17 Agustus 1966

Presiden Soekarno melakukan pidato dalam rangka peringatan hari Proklamasi yang dikenal dengan Pidato Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Pidato Jas Merah tersebut mencerminkan sikap Presiden sebagai Mandataris MPR, yang tidak bersedia untuk aturan yang ditetapkan oleh MPRS. Sehingga, hal itu menimbulkan reaksi masyarakat, dan diwarnai aksi demonstrasi dari masyarakat maupun mahasiswa.

1-3 Oktober 1966

Massa KAMI, KAPPI, dan KAPI, melakukan demonstrasi di depan istana merdeka. Mereka menuntut agar presiden memberi pertanggung-jawaban tentang peristiwa G-30-S/PKI. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya bentrokan fisik dengan pasukan Garnizun, sehingga memakan korban.

22 Oktober 1966

Pimpinan MPRS mengeluarkan Nota, Nomor: Nota 2/Pimp/MPRS/1966, yang meminta kepada Presiden Soekarno untuk melengkapi laporan pertanggungjawaban sesuai keputusan MPRS No.5/MPRS/1966.

30 Nopember 1966

KAPPI kembali melakukan demonstrasi ke DPR, dengan tuntutan yang sama seperti demonstrasi sebelumnya.

9-12 Desember 1966

Sekitar 200 ribu mahasiswa mendesak agar presiden Soekarno diadili.

20 Desember 1966

KAMI, KAPPI, KAWI, KASI, KAMI Jaya, KAGI JAYA, serta Laskar Ampera Arif Rahman Hakim (ARH) menyampaikan fakta politik kepada MA mengenai keterlibatan Presiden Soekarno dalam G-30-S/PKI

21 Desember 1966

ABRI mengeluarkan pernyataan keprihatinan, yang antara lain berbunyi butir ke-2), "ABRI akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun, pihak mana pun, golongan mana pun yang akan menyelewengkan Pancasila dan UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan PKI Pemberontakan Madiun, Gestapu PKI, DI-TII, Masjumi, PRRI-Permesta serta siapa pun yang tidak mau melaksanakan Keputusan-keputusan Sidang Umum ke-IV MPRS."

31 Desember 1966

Pimpinan MPRS mengadakan musyawarah yang membahas situasi pada saat itu, khususnya menyangkut pelaksanaan Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966 tersebut diatas, dan suara serta pendapat dalam masyarakat yang timbaul setelah adanya sidang-sidang Mahmillub yang mengadili perkara-perkara ex. Wapredam I dan ex. Men/Pangau.

6 Januari 1967

Pimpinan MPRS mengeluarkan surat nomor A9/1/5/MPRS/1967, ditujukan kepada Jenderal TNI Soeharto sebagai pengemban Ketetapan MPRS IX/Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Surat itu menegaskan seputar permintaan bahan-bahan yuridis/hasil penyidikan. Isinya antara lain: "Pimpinan MPRS mengkonstatasikan bahwa setelah berlangsungnya Sidang-sidang Mahmillub yang mengadili perkara-perkara ex-Waperdam I dan ex-Men/Pangau, telah timbul berbagai suara dan pendapat dalam masyarakat yang berkisar pada dua hal pokok, yaitu: - Tuntutan penyidikan hukum untuk menjelaskan/menjernihkan terhadap peranan Presiden dalam hubungannya dengan peristiwa kontra revolusi G-30-S/PKI. - Tuntutan dilaksanakannya Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966."

10 Januari 1967

Presiden Soekarno menyampaikan Pidato Pelangkap Nawaksara, yang isinya antara lain: "Untuk memenuhi permintaan Saudara-saudara kepada saya mengenai penilaian terhadap peristiwa G-30.S, maka saya sendiri menyatakan:

1. G.30.S ada satu "complete overrompeling" bagi saya.
2. Saya dalam pidato 17 Agustus 1966, dan dalam pidato 5 Oktober 1966 mengutup Gestok. 17 Agustus 1966 saya berkata "sudah terang Gestok kita kutuk. Dan saya, saya mengutuknya pula; Dan sudah berulang-ulang kali pula saya katakan dengan jelas dan tandas, bahwa "Yang bersalah harus dihukum! Untuk itu kubangunkan MAHMILLUB"
3. Saya telah autorisasi kepada pidato Pengemban S.P. 11 Maret yang diucapkan pada malam peringatan Isro dan Mi'radj di Istana Negara j.l., yang antara lain berbunyi:

"Setelah saya mencoba memahami pidato Bapak Presiden pada tanggal 17 Agustus 1966, pidato pada tanggal 5 Oktober 1966 dan pada kesempatan-kesempatan yang lain, maka saya sebagai salah seorang yang turut aktif menumpas Gerakan 30 September yang didalangi PKI, berkesimpulan, bahwa Bapak Presiden juga telah mengutuk Gerakan 30 September/PKI, walaupun Bapak Presiden menggunakan istilah "Gestok""(Gestok: Gerakan Satu Oktober, istilah Soekarno, Red)

10 Januari 1967

Pimpinan MPRS mengeluarkan Catatan Sementara tentang Pelengkap Pidato Nawaksara yang diumumkan Tanggal 10 Januari 1967. Catatan Sementara tersebut berisikan, antara lain: (a) bahwa Presiden masih meragukan keharusannya untuk memberikan pertanggungan-jawab kepada MPRS sebagaimana ditentukan oleh Keputusan MPRS No.5/MPRS/1966. (b) Perlengkapan Nawaksara ini bisa mengesankan seolah-olah dibuat dengan konsultasi Presidium Kabinet Ampera dan para Panglima Angkatan Bersenjata".

20 Januari 1967

MPRS mengeluarkan Press Release Nomor 5/HUMAS/1967 tentang Hasil Musyawarah Pimpinan MPRS tanggal 20 Januari 1967, yang isinya (terdiri empat point besar) antara lain (poin ke-4): "Perlu diterangkan bahwa dalam menghadapi persoalan-persoalan penting yang sedang kita hadapi, soal Nawaksara, soal penegakan hukum dan keadilan, soal penegakan kehidupan konstitusional, Pimpinan MPRS sejak beberapa lama telah mengadakan tindakan-tindakan dan usaha-usaha koordinatif dengan Pimpinan DPR-GR, Presiden Kabinet Khususnya Pengemban Ketetapan MPRS No. IX, dan lembaga-lembaga negara maupun lembaga-lembaga masyarakat lainnya..."

21 Januari 1967

Mengeluarkan Hasil Musyawarah Pimpinan MPRS Lengkap, yang terdiri dari tiga butir besar, antara lain (poin II), "Bahwa Presiden alpa memenuhi ketentuan-ketentuan konstitusional sebagai ternyata dalam surat beliau No. 01/Pres/67, khususnya yang termaktub dalam angka Romawi I: "Dalam Undang-Undang Dasar 1945, ataupun dalam Ketetapan dan Keputusan MPRS sebelum sidang Umum ke-IV, tidak ada ketentuan, bahwa Mandataris harus memberikan pertanggungan jawab atas hal-hal yang "cabang". Pidato saya yang saya namakan Nawaksara adalah atas kesadaran dan tanggungjawab saya sendiri, dan saya maksudkannya sebagai semacam "progress-report sukarela" tentang pelaksanaan mandat MPRS yang telah saya terima terdahulu". Yang berarti mengingkari keharusan bertanggung-jawab pada MPRS dan hanya menyatakan semata-mata pertanggungan jawab mengenai Garis-garis Besar Haluan Negara saja..." dst.

1 Februari 1967

Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Jenderal Soeharto, dengan nomor surat R.032/1967, sifatnya rahasia, dengan lampiran 2 (dua) berkas, serta perihal: Bahan-bahan yuridis/hasil penyudikan. Petikan laporan Team, pada bagian Pendahuluan itu, antara lain sebagai berikut: "Tujuan penyusunan naskah laporan ini untuk menyajikan data dan fakta yang telah dapat diperoleh selama dalam persidangan MAHMILLUB semenjak perkara NJONO dan SASTROREDJO, yang dalam pengumpulannya ditujukan untuk memperoleh bahan gambaran yang selengkap-lengkapnya terhadap PERTANGGUNGAN-DJAWAB YURIDIS PRESIDEN DALAM PERISTIWA G-30-S/PKI. Berdasarkan hasil-hasil persidangan tadi, maka PRESIDEN harus mempertanggung-jawabkan segala pengetahuan, sikap dan tindakannya, baik terhadap peristiwa G-30-S/PKI itu sendiri maupun langkah-langkah penyelesaian yang merupakan kebijaksanaan PRESIDEN selaku KEPALA NEGARA dan PANGLIMA TERTINGGI ABRI di dalam menjalankan pemerintahan negara dimana kekuasaan dan tanggung-jawab ada di tangan PRESIDEN, sesuai ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 beserta penjelasannya."

9 Februari 1967

Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) mengeluarkan Resolusi tentang Persidangan Instimewa MPRS, yang meminta kepada MPRS untuk mengundang dan menyelenggarakan Sidang Istimewa MPRS selambat-lambatnya bulan Maret 1967, serta meminta kepada Pemerintah c.q. Ketua Presidium Kabinet Ampera selaku Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban/Pengembangan Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966 untuk memberikan keterangan dan bahan-bahan dalam Sidang Istimewa tersebut untuk menjelaskan peranan Presiden dalam hubungannya dengan peristiwa Kontra Revolusi G-30-S/PKI untuk dapat dijadikan pegangan dan pedoman para Wakil Rakyat dalam menggunakan wewenang dan kewajibannya dalam Sidang Istimewa MPRS.

9 Februari 1967

DPR-GR mengeluarkan Penjelasan Atas Usul Resolusi DPR-GR tentang Sidang Istimewa MPRS. Pada tanggal yang sama DPR-GR mengeluarkan Memorandum mengenai Pertanggungan-jawab dan Kepemimpinan Presiden Soekarno dan Persidangan Istimewa MPRS.

11 Februari 1967

Empat panglima angkatan di tubuh ABRI bertemu Presiden Soekarno di Bogor, menyampaikan pendiriannya agar Presiden menghormati konstitusi dan Ketetapan MPRS pada Sidang Umum ke-IV.

12 Februari 1967

Presiden bertemu kembali dengan keempat Panglima tersebut, dan saat itu presiden meminta untuk melakukan pertemuan kembali esoknya.

13 Februari 1967

Para panglima mengadakan rapat membahas masalah pendekatan Presiden Soekarno tersebut. Sesudah bertemu dengan presiden, kemudian mereka sepakat untuk tidak lagi melakukan pertemuan selanjutnya.

16 Februari 1967

Pimpinan MPRS mengeluarkan Keputusan No. 13/B/1967 tentang Tanggapan Terhadap Pelengkapan Pidato Nawaksara, yang isinya: MENOLAK PELENGKAPAN PIDATO NAWAKSARA YANG DISAMPAIKAN DENGAN SURAT PRESIDEN NO. 01/PRES./'67 TANGGAL 10 JANUARI 1967, SEBAGAI PELAKSANAAN KEPUTUSAN MPRS NO.5/MPRS/1966. Dan pada tanggal yang sama dikeluarkan pula Keputusan MPRS No.14/B/1967 tentang Penyelenggaran dan Acara Persidangan Istimewa MPRS.

19 Februari 1967

Para Panglima dan Jenderal Soeharto bertemu dengan Presiden Soekarno di Istana Bogor. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesimpulan.

20 Februari 1967

Presiden Soekarno memberikan Pengumuman, yang isinya antara lain: KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA, Setelah menyadari bahwa konflik politik yang terjadi dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan Rakyat, Bangsa dan Negara, maka dengan ini mengumumkan: Pertama: Kami, Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa Undang-undang Dasar 1945. Kedua: Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Presiden, setiap waktu dirasa perlu. Ketiga: Menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia, para Pemimpin Masyarakat, segenap Aparatur Pemerintahan dan seluruh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk terus meningkatkan persatuan, menjaga dan menegakkan revolusi dan membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 seperti tersebut diatas. Keempat: Menyampaikan dengan penuh rasa tanggung-jawab pengumuman ini kepada Rakyat dan MPRS. Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Rakyat Indonesia dalam melaksanakan cita-citanya mewujudkan Masyarakat Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila." Pengumuman ini ditandatangani pada tanggal 20 Februari 1967 oleh Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi ABRI, Soekarno.

23 Februari 1967

Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/1996, melakukan Pidato melalui Radio Republik Indonesia. Sianya antara lain, memberi penegasan soal penyerahan kekuasaan oleh Presiden Soekarno kepada dirinya. Pada tanggal yang sama, 23 Februari 1967, (juga) DPR-GR mengeluarkan Resolusi No.724 tentang pemilihan Pejabat Presiden Republik Indonesia, beserta penjelasan terhadap resolusi tersebut.

24 Februari 1967

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia membuat pernyataan yang isinya antara lain, mengenai penyerahan kekuasaan pemerintah, dan menegaskan bahwa Angkatan Bersenjata akan mengamakan terselenggaranya Sidang Istimewa MPRS. Serta juga ditegaskan bahwa ABRI akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun dan golongan manapun yang tidak mentaati pelaksanaan kekuasaan pemerintahan, setelah berlakunya Pengumuman Presiden tanggal 20 Februaru 1967.

25 Februari 1967

Pemerintah mengeluarkan Keterangan Pers, mengenai telah dilakukannya penyerahan kekuasaan pemerintahan negara oleh Soekarno kepada Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, yakni Jenderal Soeharto.

7 Maret 1967

MPRS mengadakan sidang istimewa dengan menghasilkan 26 Ketetapan. Ketika sidang MPRS itu dilakukan, Mandataris duduk di barisan pimpinan MPRS yakni di sebelah kanan Ketua MPRS, tidak seperti biasanya duduk berhadapan dengan MPRS. Hasilnya, antara lain (seperti dituangkan dalam TAP MPR No. XXXIII/MPRS/1967), yakni Mencabut Kekuasaan Pemerintah dari Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga dilaksanakannya Pemilu.

MIS

Sumber: http://www.tempo.co.id/ang/min/02/05/utama7.htm
Edisi 05/02 - 05/Apr/1997

Rabu, 07 April 2010

Bung Karno: 100 Tahun dalam Sunyi

Bung Karno: 100 Tahun dalam Sunyi

TANPA banyak diketahui orang, pasca-peristiwa Gerakan 30 September, Bung Karno telah 103 kali menyampaikan pidato politik. Pada Agustus lalu, sebagian pidato itu diterbitkan dalam dua jilid buku berjudul Revolusi Belum Selesai.

Lebih dari sekadar menggambarkan pembelaan Bung Karno atas berbagai tudingan, pidato itu juga melukiskan kesunyian seorang Bung Besar. Perintahnya tak dituruti, pidatonya hanya menjadi kembang api: membuncah lalu hilang bersama malam.

Hampir dua tahun suara Bung Karno nyaris tak terdengar. Ia seperti tokoh dalam novel Gabriel Garcia Marquez: lelaki yang melewati waktunya dalam 100 tahun kesendirian.



Istana Merdeka, Jakarta, 13 September 1966. Hari itu, Bung Karno berpidato di hadapan anggota Angkatan 1945. Nadanya berapi-api, mimik dan gerak tubuhnya membakar. Pada menit-menit pertama ia tampil prima. Memasuki setengah jam kedua, ia mulai kehilangan kepercayaan diri. Suaranya memang masih keras membahana, tapi isi pidatonya menunjukkan ia sedang tak yakin. "He, wartawan, (bagian) ini jangan dimasukkan. Cuma untuk inside information," katanya.

Kabar yang disembunyikannya itu adalah sinyalemen tentang KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia)—organisasi mahasiswa yang kukuh menyelenggarakan demonstrasi terhadap Presiden pasca-tragedi Gerakan 30 September—yang kesusupan preman-preman. "Cobalah. Tempo hari, pada waktu anak KAMI datang ke sini, saya juga berkata, KAMI itu bukan saja menggedor, menjebloskan ban, tapi juga kadang-kadang masuk rumah tangga orang, merampas ya arloji, ya uang, dan lain-lain. Apa dijawab waktu itu, jawabnya Cosmas Batubara (salah seorang pimpinan mahasiswa—Red.), KAMI diselundupi, Pak," kata Bung Karno mengutip.

Pada bagian yang lain Sukarno berkisah. "Pak Dasaad (pengusaha—Red.) pada suatu malam didatangi, boleh dikata, penyelundup. Pak Dasaad tak ada, Bu Dasaad ada di rumah.... Bu Dasaad bukan main beraninya didatangi pemuda-pemuda itu. Mau apa? (tanya Ny. Dasaad). Ini auto (mobil) kami ambil. Bu Dasaad (bilang) begini. Apa ini auto punya nenek lu? Pergi lu. Anak anak itu kena gertak mundur...," cerita Bung Karno.

Tetapi tak lama, Sukarno kembali gentar. "Jangan tulis, ya. Kalau tulis, saya tabokin kamu orang," katanya kembali mengancam wartawan yang hadir.

Tak biasanya Presiden Sukarno takut pada pers. Sepanjang sejarah Sang Pemimpin Besar Revolusi, tak pernah ia gentar pada materi pidatonya sendiri. "Seorang presiden yang pernah lantang berpidato di PBB saat itu begitu ciut nyalinya," kata sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam.

Pidato itu memang diucapkan Bung Karno pada hari-hari terakhir kekuasaannya. Setelah peristiwa G30S, praktis Sukarno tak lagi memiliki kesempatan berpidato di depan umum. Ia diasingkan dari publik, dan ruang geraknya dibatasi.

Tapi, tanpa banyak diketahui orang, sejak 30 September 1965 hingga 19 Januari 1967—masa ketika Sukarno menyampaikan pidato pelengkap Nawaksara yang menandai berakhirnya kekuasaan Orde Lama—Sukarno telah menyampaikan 103 pidato. Umumnya berisi pembelaan dirinya atas peristiwa G30S. Juga jawaban atas remuknya ekonomi Indonesia dan argumentasi mengapa ia tak juga mau membubarkan PKI, organisasi yang dituding tentara berada di balik prahara 30 September.

Selama hampir 40 tahun, tak banyak yang tahu tentang rangkaian pidato itu. Hingga Agustus lalu, 61 pidato Bung Karno itu diterbitkan dalam dua jilid buku berjudul Revolusi Belum Selesai.

Lalu orang terhenyak: betapa masa yang kurang dari dua tahun itu begitu menyakitkan bagi seorang Bung Karno. Pidatonya tak digubris, perintahnya dianggap angin lalu. Berulang-ulang, dalam berbagai kesempatan ia berkata, "I am still president, still Supreme Commander of The Arm Forces", "Kerjakan komandoku", "Jangan jegal perintah saya", "Jangan saya dikentuti".

Buku ini memang menyimpan masa-masa sulit seorang Bung Besar. Tragedi G30S dan ekonomi Indonesia yang remuk karena inflasi hingga 600 persen membuat wibawa presiden tersungkur. Mahasiswa turun ke jalan. Hadely Hasibuan, yang diangkat Sukarno menjadi Menteri Penurunan Harga, tak mampu berbuat banyak.

Angkatan Darat menguasai semua lini. Selama sepekan, pers Indonesia dilarang terbit kecuali Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha—dua koran yang dikendalikan tentara. Ketika itulah, juga setelahnya, propaganda tentara bekerja. Pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya disebut juga disertai pemotongan kemaluan dan pencungkilan mata. Untuk hal ini Sukarno memberikan kesaksian. "Tak ada kemaluan yang dipotong. Saya melihat visum et repertum. Tak ada pencungkilan mata. Yang disebut alat pencungkil mata itu nyatanya hanya alat penderas karet," kata Bung Karno pada 13 Desember 1965 di depan para gubernur se-Indonesia.

Sukarno memang terkesan berhati-hati dalam memberikan penilaian terhadap G30S. Peran PKI dalam peristiwa berdarah itu, misalnya, berkali-kali dibantahnya. Ia tak menolak ada petinggi PKI yang terlibat, tapi ia tak ingin PKI—sebagai salah satu pilar Nasakom—ditutup.

Ia bahkan jengkel ketika mahasiswa menuduh kabinet Dwikora yang dipimpinnya adalah kabinet Gestapu. "Saya bertanya, Mursyid (salah seorang menteri—Red.), apakah kau komunis? Bukan! Hartono, engkau komunis? Bukan! Sjafei, engkau komunis? Bukan! Basuki Rachmat, engkau komunis? Bukan! Orang di luar yel-yelkan kabinet ini kabinet Gestapu! Aku berkata, ini kip zonder kop, ayam yang tidak berkepala!" teriak Si Bung.

Terhadap pengalihan kekuasaan melalui Surat Perintah 11 Maret berulang-ulang ia menegaskan. "Ini saya terangkan begini, Saudara-saudara, apalagi pers asing mengatakan bahwa perintah ini adalah a transfer of authority to General Suharto. Tidak. It is not a transfer of authority kepada General Suharto. Ini sekadar perintah kepada Suharto untuk menjamin jalannya pemerintahan untuk ini, untuk itu, untuk itu."

Demo mahasiswa yang menyebut Bung Karno hanya mendahulukan proyek mercu suar—antara lain Monumen Nasional (Monas) dan planetarium di Taman Ismail Marzuki—dibantahnya dengan mulut yang pedas. "Monumen itu celana. Celana bagi bangsa yang sedang melakukan revolusi. Makanan jiwa agar rakyat berkobar semangatnya. Manusia tidak bisa hidup dari nasi dan roti tok!" Ia juga membela pembangun pusat belanja Sarinah di Jalan Thamrin, Jakarta, yang oleh demonstran dituding foya-foya. "Sarinah dapat berperan sebagai stabilisator harga. Sarinah-sarinah harus dibangun di seluruh Indonesia!" katanya.

Hampir semua pidato Bung Karno disampaikan tanpa teks: mengalir begitu saja, seenaknya, urakan, dan karena itulah semua letupan emosi dengan mudah dapat terekam. Dalam suatu pidato, mungkin karena jengkel, ia bahkan tak segan menyebut kemaluan pria dalam bahasa yang paling telanjang.

Sesekali ia nyinyir terhadap pers yang kerap salah mengutip ucapannya. Ketika memberikan pengantar saat mengumumkan perombakan Kabinet Dwikora, 12 Februari 1966, ia berceloteh. "Insya Allah, saya akan mengumumkan susunan Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Disempurnakan dalam bahasa Inggris dikatakan reshuffle. Reshuffle itu ditulis ffle. (Koran) Api Pantjasila menulisnya ffel. Itu salah. Mana Api Pantjasila? Reshuffling kabinet ini tidak sebagai hasil tuntutan dari KAMI seperti ditulis Api Pantjasila. Sejak lama saya telah bermaksud mengadakan reshuffling kabinet. Tapi keadaan belum saya anggap tepat, sesuai, dan tenang...."

Kali yang lain ia marah meledak. Di hadapan anggota Golongan Karya di Istana Bogor 11 Desember 1965, ia merasa dikerjain karena jadwal pertemuan molor satu jam dari waktu yang ditentukan. Alasan panitia karena Rapat Kerja Golkar selesai juga terlambat. Si Bung meluap: "Inikah Golongan Karya? Inikah yang dinamakan menjunjung tinggi, patuh pada Kepala Negara, Presiden? Saya marah. ... Presiden satu jam menunggu.... Inlander kamu orang sekalian!"

Menurut Asvi, rentetan pidato Bung Karno dalam Revolusi Belum Selesai yang disusun secara kronologis menggambarkan gradasi suasana psikologis Sang Presiden. Pada pekan-pekan pertama setelah G30S meletus, Bung Karno masih berpidato dengan komando-komando ala seorang Pemimpin Besar Revolusi. Tapi belakangan, terutama dalam pidato pelengkap Nawaksara, pada 10 Januari 1967, yang memastikan ia kehilangan kekuasaannya, irama pidatonya makin tak bertenaga. "Kenapa saya saja yang diminta pertanggungan jawab atas peristiwa G30S yang saya namakan Gestok (Gerakan 1 Oktober) itu? Kalau bicara tentang kebenaran dan keadilan, maka saya pun minta kebenaran dan keadilan! Adilkah saya sendiri disuruh bertanggung jawab atas kemerosotan di bidang ekonomi?"

Saking frustrasinya menghadapi keadaan, pernah pula Bung Karno ngambek tak mau berpidato. "Itu terjadi pada Mei 1966," kata Asvi. Satu-satunya pidato yang ia lakukan pada bulan itu adalah ketika menghadiri upacara kenaikan pangkat Panglima Angkatan Udara Komodor Udara Roosmin Nurjadin, 29 Mei 1966. Pidato itu pun ia mulai dengan ucapan yang asam. "Saya tak akan memberikan amanat yang panjang-panjang. Saya akan diam saja lebih dahulu. Saya akan tutup mulut," katanya.

Bulan berikutnya, ketika melantik ketua dan wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, 15 Juni 1966, ia kembali mengulangi. "Saya tutup mulut seribu bahasa," katanya.

Sukarno mungkin tahu, ucapannya tak punya manfaat apa-apa lagi. Meski demikian, gelombang aksi pendukung Sukarno bukan tak ada. Sekitar 92 menteri, misalnya, menyatakan kesetiaannya kepada Sukarno pada 20 Januari 1966. Bulan berikutnya diadakan rapat raksasa kesetiaan kepada Pemimpin Besar Revolusi di Bandung. Pada 10 Maret 1966 sejumlah organisasi massa menyatakan kebulatan tekad mendukung Presiden.

Tapi sia-sia. Senja kala kekuasaan Presiden sudah tiba. Pidato pertanggungjawaban Bung Karno ditolak MPRS, dan sejak itu absahlah sudah upaya Orde Baru memberangus kemerdekaan Sang Orator. Ia sakit, lunglai, dan pada Juni 1970 ia wafat. Seratus tahun kesunyiannya pun berakhir.

Arif Zulkifli

------------------------------------------------------------------

Pidato dengan Tinta Biru

Maulwi Saelan, 77 tahun, masih menyimpan kenangan itu dengan penuh kasih. Suatu hari pada tahun 1964, Presiden Sukarno masuk ke mobil kepresidenan dengan tergesa. Hari itu sang Presiden hendak berpidato dalam sebuah acara kesenian yang digelar di Gedung Olahraga Senayan, Jakarta. Namun, karena saat itu jadwalnya sangat padat, Bung Karno tak sempat mempersiapkan materi pidatonya. Dalam perjalanan, sambil terkesan panik, ia bertanya kepada Saelan, "Menurutmu kira-kira aku harus ngomong apa di acara tersebut." Saelan, yang waktu itu ajudan Presiden, menjawab sebisanya, "Ya, sebaiknya Bapak bicara seputar acara itu saja."

Awalnya Saelan mengira Bung Karno benar-benar panik. Tapi rupanya Presiden cuma berpura-pura bingung untuk memancing ide dari orang sekitarnya. Terbukti, tanpa ide Saelan pun, Bung Karno berpidato begitu lancar dan memikat. Kata-katanya meluncur deras, terstruktur, bergelora, dan diselingi lelucon-lelucon yang segar.

Menurut Saelan, sebelum berpidato, Bung Karno memang kerap bertanya kepada siapa saja, termasuk rakyat jelata. Misalnya, kalau akan berpidato di Makassar, Bung Karno akan bertanya dulu ke sejumlah pejabat dan orang di sana sebagai masukannya. Ia kemudian mengolahnya. Kadang kala ia juga membuat coretan-coretan sebagai catatan kecil. Itu pun bila dianggapnya perlu. "Bung Karno lebih banyak berpidato tanpa teks," ujar bekas Wakil Komandan Resimen Cakrabirawa itu.

Bung Karno biasanya melakukan persiapan khusus jika akan menyampaikan pidato kenegaraan seperti pidato 17 Agustus. Sebelum menulis pidato, Presiden RI pertama ini biasanya menyepi ke Istana Tampak Siring, Bali, atau Istana Kepresidenan Cipanas, Jawa Barat. Selain itu, Bung Karno juga membaca buku, majalah, koran, plus meminta sejumlah laporan dari para menteri dan pejabat negara lainnya. Kemudian ia baru menyusun pidatonya. "Untuk pengetikan, Bung Karno dibantu stafnya dari Sekretariat Negara," Saelan menjelaskan.

Hal senada diungkapkan Guntur Sukarnoputra. Menurut putra sulung Bung Karno itu, sejak dua minggu sebelum 17 Agustus, bapaknya mengumpulkan saran dari semua pihak. Dari partai politik, angkatan bersenjata, tokoh kemasyarakatan, menteri, pemuda, buruh, dan petani. Sang Bapak juga mempersiapkan bahan yang diambil dari majalah, berita, dan laporan dari luar negeri. Tentunya dipilih yang penting-penting. Semua itu dipelajari dan dibacanya satu per satu menjelang tidur atau pagi-pagi sambil duduk minum kopi. "Poin yang dianggap penting ditandainya dengan pensil merah atau biru," kata Guntur dalam buku Bung Karno, Bapakku, Kawanku, Guruku.

Setelah itu, Bung Karno membuat pokok-pokok masalah yang akan dikemukakan dalam pidato kenegaraan. Baru kemudian ia memilih judul yang tepat. Misalnya, untuk pidato 17 Agustus 1959, Bung Karno memilih judul "Re-discovery of our Revolution" (Penemuan Kembali Revolusi Kita), pidato yang dikenal juga sebagai Manifesto Politik (Manipol). Pilihan judul ini diambil karena sebelumnya, pada 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai dasar negara.

Jika semua bahan itu telah dipelajarinya, barulah Bung Karno mulai menulis teks pidato berdasarkan pada poin-poin permasalahan yang telah ditentukan tadi. Dalam mempersiapkan pidato itu, Bung Karno selalu dibantu sebuah tim yang siap sedia 24 jam. Mereka terdiri dari seorang liaison officer yang membawahkan 2 sampai 3 pengetik cepat dari Sekretariat Negara. "Bapak biasanya menulis teks pidato itu di meja bundar besar di ruang tengah Istana Merdeka," tulis Guntur. Alat tulis yang biasa dipakai adalah pulpen Parker model terbaru. Biasanya Bung Karno akan memakai tinta biru muda atau biru tua merek Quink. Penulisan dilakukan di atas kertas kepresidenan ukuran folio.

Menurut Guntur, ketika pidato ditulis, tak seorang pun boleh mengganggu sang Bapak. Tamu rutin yang biasanya datang akan ditolak, kecuali tamu penting dengan kepentingan mendesak.

Setelah tulisan tangan selesai, naskah langsung diketik. Ketikan itu kemudian diperiksa dan diteliti kembali oleh Bung Karno—dikoreksi, ditambah, dan dikurangi, bila dianggap perlu. Hasil koreksian itu kemudian diketik sekali lagi di atas kertas kepresidenan. "Naskah itulah yang akan menjadi naskah asli teks pidato untuk dibaca dalam pidato kenegaraan 17 Agustus," kata Guntur.

Yang jelas, meski naskah selesai dibuat, pada saat pidato Bung Karno kerap menambah atau mengu-rangi beberapa hal dari naskah itu. Ilham yang tiba-tiba muncul pada saat berpidato biasanya langsung diucapkan meskipun itu tak ada dalam naskah. Begitu juga hal-hal yang tiba-tiba dirasa tak perlu diucapkan, Bung Karno tak mengucapkannya. "Jadi, antara teks asli pidato dan teks yang dibuat berdasarkan hasil notulensi atau rekaman biasanya terdapat perbedaan-perbedaan," tulis Guntur.

Nurdin Kalim

---------------------------------------------------------

Pidato Si Bung dalam Karung

Seribu naskah pidato Bung Karno tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia. Banyak yang telah menguning, ada yang dimakan rayap.

Empat lembar kertas itu terlihat kusam. Warna putih telah berubah menjadi cokelat muda. Lapisan debu tipis menyelimuti dokumen berkop "Sekretariat Negara Kabinet Presiden". Isinya: naskah pidato Bung Karno di depan sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 22 Juni 1966. Naskah pidato yang diketik dalam bahasa Inggris tersebut penuh dengan coretan tangan. Rupanya, seorang korektor, mungkin juga Bung Karno, mencoba memperbaiki naskah penting itu.

Kini, dokumen itu, bersama sekitar seribu naskah pidato Bung Karno lainnya, tersimpan rapi di depot penyimpanan kantor Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jalan Ampera Raya, Cilandak, Jakarta Selatan. "Naskah itu adalah tumpukan harta karun yang penting," ujar Sri Handayani, Kepala Bagian Layanan Informasi ANRI.

Sejak awal 1970-an, tumpukan naskah pidato Bung Karno itu berada di gudang ANRI. Semuanya disimpan dalam kotak-kotak yang dibungkus karung. Karena banyaknya dokumen yang harus diurus, selain juga karena keterbatasan dana, ANRI baru mengolah naskah tersebut pada akhir tahun 1994.

Lembaga yang berada di bawah kontrol presiden tersebut menugasi empat arsiparis (tenaga ahli bidang arsip) untuk "merawat" bukti sejarah itu. Mereka membaca satu per satu naskah pidato tersebut, lalu menyusunnya berdasarkan tema dan tanggal pembuatan. Proses katalogisasi itu memakan waktu enam bulan. Sekarang, publik bisa melihat atau mengkopi dokumen tersebut.

Menurut seorang petugas arsip di sana, tiap enam bulan, dokumen itu diberi zat kimia (fumigasi) agar tak berjamur. Suhu udara juga dipertahankan pada kisaran 22-24 derajat Celsius agar kelembapan udara terjaga. "AC kami bekerja 24 jam," ujar Soleh, petugas yang merawat dokumen penting di ANRI.

Meski mereka berusaha keras memelihara, toh tak semua dokumen "selamat". Beberapa naskah pidato Bung Karno, misalnya, meski telah tersimpan rapi dalam map khusus, kondisinya menyedihkan. Naskah pidato Bung Karno pada penutupan Sidang Umum IV MPRS pada 6 Juli 1966, misalnya, terlihat rusak. Beberapa bagian naskah itu sudah bolong-bolong dimakan rayap.

Idealnya, semua naskah penting tersebut dibuatkan back-up yang memadai. Sri Handayani menyebut pembuatan mikrofilm sebagai alternatif terbaik. Tapi, untuk setiap 400 halaman dokumen, dibutuhkan biaya produksi Rp 700 ribu. "Kami belum memiliki anggaran untuk itu," ujar Handayani. Di tengah krisis keuangan negara yang parah, pelestarian dokumen sejarah menjadi prioritas nomor buntut. "Tapi, saat ini setidaknya kami telah ikut menjaga agar sejarah tak hilang," ujar Rinta Kurniati, arsiparis yang ikut mengerjakan proyek tersebut, menghibur diri.

Beruntung sebagian naskah pidato Bung Karno kini telah didokumentasi dalam dua edisi buku Revolusi Belum Selesai. Tapi itu pun sebetulnya bukan proyek yang disengaja untuk menjaga ribuan halaman dokumen tersebut. Bonnie Triyana, salah seorang editor buku Revolusi, misalnya, secara tak sengaja "menemukan" naskah penting tersebut ketika ia mengumpulkan bahan untuk menyusun skripsi pada Februari 2003. Semula ia hanya diizinkan meminjam naskah pidato itu lima buah per hari. Belakangan, karena seringnya bolak-balik ke Arsip Nasional, petugas di sana memberi kemudahan meminjam lebih banyak dari seharusnya.

Bersama Budi Setiyono dari Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah (Mesiass), Bonnie lalu menerbitkannya dalam bentuk buku. Mereka lalu dibantu Jaap Erkelens, bekas Ketua Lembaga Kebudayaan Belanda (KITLV), untuk mengindonesiakan sejumlah kata Belanda yang kerap dipakai Presiden Sukarno.

Hasilnya lumayan. Hanya dalam beberapa bulan, buku yang dicetak 1.500 eksemplar itu laris manis dan kini sedang memasuki cetakan kedua. Tak cuma itu, menurut Bonnie, di Cilacap, Jawa Tengah, beberapa Sukarnois tua punya cara tersendiri untuk "mengawetkan" ingatan mereka pada Bung Karno. Mereka meminta seorang anak muda membacakan seluruh naskah dalam buku itu, lalu merekamnya dalam 21 kaset. Untuk melepas kangen, "Mereka kerap mendengarkan kaset rekaman itu beramai-ramai," ujar Bonnie terkekeh.

Sebanyak 61 pidato Bung Karno yang terekam dalam buku Revolusi Belum Selesai adalah harta karun yang terselamatkan. Seribu naskah lainnya kini teronggok. Mungkin selamat, bisa juga remuk dimakan rayap.

Setiyardi

----------------------------------------

Magma yang Terpendam

Selama puluhan tahun, pidato Bung Karno adalah magma yang bisa membakar sekaligus membius orang ramai. Menjelang kejatuhannya, magma itu terpendam dan tak digubris orang. Berikut petikan beberapa pidato di hari-hari terakhir kekuasaan si Bung.

Amanat Presiden Sukarno pada Pelantikan Para Menteri Baru Kabinet Dwikora di Istana Merdeka, Jakarta, 24 Februari 1966 (Buku II Revolusi Belum Selesai hlm. 1)

Barangkali ada baiknya ini kali saya tegaskan sekali lagi, salah anggapan seseorang atau golongan bahwa saya, apalagi sebagai Pemimpin Besar Revolusi, tetapi juga sebagai persoon, bisa dan mau dijungkrak-jungkrakkan, didorong-dorong, dituntut-tuntut. Dalam bahasa Inggris, I know my job, I know my job!... Tidak peduli dari mana itu! Tidak dari PKI, tidak dari KAMI! (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia—Red). Malahan pernah saya berkata, hier sta ik, di sini aku berdiri, inilah Bung Karno, inilah Perdana Menteri, inilah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, inilah Pemimpin Besar Revolusi! Saya tidak akan mundur setapak pun, tidak akan mundur setapak pun, tidak akan mundur, kataku di Bogor tempo hari! Ini pimpinanku! Saya menghendaki agar supaya pimpinanku itu diikuti jikalau memang aku ini masih dianggap Pemimpin Besar Revolusi.

Amanat Presiden Sukarno pada Rapat Umum Hari Wanita Internasional di Istora Senayan, Jakarta, 8 Maret 1966 (Buku II Revolusi Belum Selesai hlm. 53)

Ada ibu-ibu rumah tangga yang mengatakan, ya, tuntutan mereka (para mahasiswa yang meminta harga diturunkan serta PKI dan kabinet Dwikora dibubarkan—Red) sebenarnya benar, minta ini minta itu, menuntut ini menuntut itu. He ibu-ibu rumah tangga, sadarlah bahwa di belakang tuntutan itu ada hal-hal yang harus kita ketahui.

Aku ini, saudara-saudara, kalau boleh mengadakan suatu perbandingan, seperti bandingannya Nabi Isa yang pada waktu menderita memohon kepada Tuhan: Heer, want ze weten niet wat ze doen. Ya Tuhan, ampunilah mereka, sebab mereka itu sebetulnya tidak mengerti....

Oleh karena itu, aku, aku kepada anak-anak kecil, kepada wanita-wanita, kepada pemuda-pemuda yang sekarang ini on the move mengongkrek-ongkrek kewibawaan pemerintah..., meskipun mereka mengatakan Hidup Bung Karno, Hidup Bung Karno; aku juga berkata demikian..., Ya Tuhan ampunilah kepada mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.

Amanat Presiden Sukarno pada Pengambilan Sumpah dan Pelantikan Para Menteri Utama dan Para Menteri Dalam Kabinet Ampera, Istana Negara, Jakarta, 28 Juli 1966 (Buku II Revolusi Belum Selesai hlm. 183 dan 185)

Saya plong MPRS mengukuhkan Surat Perintah saya, 11 Maret. Boleh dikatakan Surat Perintah saya 11 Maret itu diambil oper oleh MPRS....

Jadi saudara-saudara jangan salah pengertian lo, jangan kira bahwa saya merasa, apa itu, terjegal atau bagaimana, manakala MPRS mengukuhkan SP 11 Maret itu. Oo, tidak! Saya malah gembira, malah senang bahwa perintah saya 11 Maret itu, bukan hanya perintah saya saja, tetapi perintah yang seluruhnya diambil oper oleh MPRS....

Saya baca sekali lagi. Memutuskan, memerintahkan kepada Pak Harto untuk—dengarkan betul-betul ya—atas nama Presiden/Pemimpin Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi: satu, mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan, dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi....

Ini saya terangkan begini, saudara-saudara, apalagi para asing, pers asing mengatakan bahwa perintah ini adalah a transfer of authority to General Suharto. Tidak. It is not a transfer of authority kepada General Soeharto. Ini sekadar perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk menjamin jalannya pemerintahan untuk ini untuk itu, untuk itu."

Amanat Presiden Sukarno di Hadapan Para Mahasiswa HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) di Istana Bogor, 18 Desember 1965 (Buku I Revolusi Belum Selesai, hlm. 302)

Karena itu, saya selalu mengadakan appeal kepada semua, semua, semua, semua golongan dari rakyat Indonesia ini, jangan memecahkan negara, jangan memecahkan bangsa. Khusus mengenai Islam, orang Islam, saya kadang-kadang sedih melihat bahwa di kalangan orang Islam tidak mengerti hukum-hukum Islam itu.... Misalnya, ya, misalnya di Jawa Timur. Demikian dilaporkan oleh Gubernur Jawa Timur, oleh Panglima Jawa Timur, dan juga dari pengetahuan info-info kami sendiri, di Jawa Timur atau Jawa Tengah itu banyak sekali Pemuda Rakyat atau anggota PKI atau orang yang hanya simpati saja kepada PKI dibunuh, disembelih, atau ditikam atau dipentungi, dikepruki sampai pecah kepalanya; itu satu kejadian.

Tapi kemudian ini jenazah yang lehernya tergorok, yang kepalanya pecah dikepruk, karena perutnya keluar ia punya usus karena ditikam, jenazah ini kalau ada orang yang mau ngerumat, ngerumat itu bahasa Jawa Timur. Apa ngerumat, mengurus, ngerumat jenazah ini, awas, engkau pun akan kami bunuh. Malah banyak jenazah ini di-keler-kan begitu saja.

Amanat PJM Presiden Sukarno pada Pembukaan Konferensi Para Gubernur Seluruh Indonesia di Istana Negara, Jakarta, 13 Desember 1965 (hlm. 247, buku I Revolusi Belum Selesai, hlm. 248)

Begini, tatkala sudah terjadi Lubang Buaya, jenazah-jenazah daripada jenderal-jenderal kita dibawa ke sana dan dimasukkan ke dalam sumur. Ooh, itu wartawan-wartawan surat kabar menulis bahwa jenderal-jenderal itu disiksa di luar perikemanusiaan. Semuanya katanya, maaf saudari-saudari, semuanya dipotong mereka punya kemaluan. Chaerul ndak ngerti kemaluan itu apa? Malahan belakangan juga di dalam surat kabar ditulis bahwa ada seorang wanita, yang bernama Djamilah, menyatakan motongnya kemaluan itu dengan pisau silet. Bukan satu pisau silet, tetapi lebih dulu 100 anggota Gerwani dibagi silet. Dan silet ini dipergunakan untuk mengiris-iris kemaluan. Demikian pula dikatakan bahwa di antara jenderal-jenderal itu matanya dicukil....

Saya pada waktu itu memakai saya punya gezond verstand (akal sehat), saudara-saudara. Dan dengan memakai saya punya gezond verstand itu saya betwijfellen, ragukan kebenaran kabar ini. Tetapi saya melihat akibat dari pembakaran yang demikian ini. Akibatnya ialah masyarakat seperti dibakar...!

Nah, saudara-saudara, waktu belakangan ini saya dapat bukti bahwa memang benar sangkaan saya itu. Bahwa jenderal-jenderal yang dimasukkan dalam Lubang Buaya itu tidak ada satu orang pun yang kemaluannya dipotong. Saya dapat buktinya dari mana? Visum repertum daripada tim dokter-dokter yang memeriksa jenazah-jenazah daripada jenderal-jenderal yang dimasukkan dalam sumur Lubang Buaya itu.

Pidato PJM Presiden Sukarno pada Sidang Paripurna Kabinet Dwikora di Bogor, pada 6 Nopember 1965 (Buku I Revolusi Belum Selesai, hlm. 82)

"Ik ga weer iets uit de school, klappen, saudara-saudara. Rahasia. Kami, di antara banyak bukti-bukti itu, mempunyai satu bukti bahwa Amerika uit de hand van Duta Besar Jones—Jones itu persoonlijk begitu baik kepada saya—pernah memberikan uang 150 juta kepada seseorang. Het is veel (banyak) lo, 150 juta rupiah..., 150 juta rupiah diberikan kepada seseorang untuk apa? Ternyata dari surat serah dan surat terima—atas sumpah lo, dengan sumpah bahwa uang ini dipergunakan untuk apa? Untuk menganjurkan, atau mempropagandakan, untuk memperkembangkan, di sini the free world ideology ..."

Amanat PJM Presiden Sukarno pada Sidang Panca Tunggal Seluruh Indonesia di Istana Negara, Jakarta, 23 Oktober 1965 (Buku I Revolusi Belum Selesai, hlm. 44)

Tapi kadang-kadang itu cuma ucapan mulut saja. Bukan dari semua, dari beberapa oknum. Ucapan mulut katanya taat, tetapi di dalam perbuatannya saya merasa oleh mereka itu dikentutin sama sekali! Dan tegas saya punya perintah ialah jangan bakar-bakar, jangan kobar-kobarkan sentimen....

Saya terus terang, pada satu hari ik heb eruit gedondera (saya tendang keluar) seorang yang memimpin surat kabar ini, eruit! Oleh karena dia itu membakar terus. Dan membakar secara kampung, saudara-saudara. Kemarin pun saya sudah marah-marah lagi. Achmadi, saya merasa marah. Salah satu surat kabar mengatakan misalnya Bapak Djuanda matinya oleh karena minum! Minuman dari RRT (sebutan untuk Cina ketika itu—Red). Ya apa tidak, ada surat kabar menulis begitu! Coba, ini saya mengerti, saya tahu, maksudnya ini ialah menghasut kita agar supaya curiga kepada RRT, marah kepada RRT.... Tapi itu sengaja, saudara-saudara, dari pihak surat kabar ini membangunkan suasana benci kepada RRT, benci kepada Tionghoa. Apa akibatnya nanti? Rasialisme berkobar-kobar di sini.

Ignatius Haryanto, AZ

-------------------------------------------------------------

Secarik Sejarah yang Raib

Notulensi pidato Bung Karno tanggal 6 Oktober 1965 lenyap tak berbekas. Betulkah karena memuat pembelaan Nyoto terhadap peristiwa G30S?

Bogor, 6 Oktober 1965. Negara genting. Rabu pagi itu Bung Karno menelepon semua menteri supaya menghadiri sidang Kabinet Dwikora di Istana Bogor. Inilah rapat kabinet pertama yang diadakan Presiden setelah peristiwa G30S meletus. Sepekan baru berlalu sejak tujuh perwira tinggi TNI tewas dibunuh di Lubang Buaya. Jakarta diliputi pertanyaan besar: apa yang sesungguhnya terjadi? Betulkah Partai Komunis Indonesia terlibat? Betulkah Bung Karno melindungi PKI?

Semua menteri segera bergegas ke Bogor. Perjalanan dua jam ditempuh para menteri dengan mobil dinas mereka. Beberapa di antaranya bahkan dikawal panser militer. Dua orang yang juga meluncur ke Bogor adalah Nyoto dan M.H. Lukman—keduanya menteri negara yang juga pengurus teras PKI, partai yang dituding tentara berada di belakang prahara G30S. Ketua PKI, D.N. Aidit, yang juga salah satu menteri, telah hengkang ke Solo pada 1 Oktober pagi.

Sidang sendiri baru dimulai menjelang siang. "Ada sekitar empat puluh menteri hadir," kata Mohamad Achadi, mantan Menteri Transmigrasi Kabinet Dwikora, yang juga hadir di Istana Bogor. Termasuk di sana adalah Menteri Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Udara Omar Dhani dan Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto. Menteri Koordinator Hankam, Jenderal A.H. Nasution, tak hadir. Suasana tegang. Achadi, kini 72 tahun, masih ingat setiap orang di ruangan itu saling waswas dan curiga satu sama lain.

Tak lama kemudian, Sukarno membuka sidang. Ia lalu memberi kesempatan kepada Nyoto sebagai Wakil Ketua II PKI untuk bicara. "Saudara Nyoto, kamu punya statement untuk disampaikan, silakan," ucap Sukarno seperti ditirukan Achadi. Ada dugaan Sukarno mempersilakan Nyoto bicara—bukan Lukman, yang juga adalah Wakil Ketua I PKI—karena Sukarno merasa dekat dengan Nyoto. Selain menteri, Nyoto adalah orang yang kerap menulis naskah pidato untuk Presiden.

Nyoto lalu mengeluarkan secarik kertas berisi tulisan tangan. Ia kemudian menyatakan bahwa PKI tidak bertanggung jawab atas peristiwa berdarah G30S. "Kejadian itu adalah masalah internal Angkatan Darat," kata Nyoto, seperti ditirukan Setiadi Reksoprodjo, mantan Menteri Listrik dan Energi Kabinet Dwikora, kepada TEMPO.

Usai pernyataan Nyoto, Sukarno menyambung dengan pidato pendek. "Tak lebih dari 30 menit," ujar Achadi, yang pernah mendekam dalam penjara Orde Baru selama 12 tahun. Sumber lain menyebutkan rapat itu berlangsung lima setengah jam. Isi pidato Sukarno, menurut Achadi, adalah pembelaan Presiden bahwa tragedi ini adalah hal biasa dalam perjalanan sejarah bangsa.

"Selalu ada peruncingan-peruncingan kekuatan. Kalau Darul Islam merupakan peruncingan kanan, Permesta peruncingan nasionalis, maka ini peruncingan kiri," tutur Sukarno. Pada bagian lain, Sukarno menyebutkan peristiwa G30S hanyalah riak kecil dalam revolusi Indonesia. "Jika benar G30S didalangi PKI, tentu PKI bertindak kekanak-kanakan," kata Bung Karno. Ucapan ini pernah pula dikatakan Bung Karno pasca-pemberontakan PKI di Madiun, 1948.

Tak seperti pidato-pidato Bung Karno lainnya yang rapi didokumentasi oleh Sekretaris Negara dan Arsip Nasional, pidato 6 Oktober itu tak berbekas. "Saya sudah berusaha mencari ke Arsip Nasional dan Sekneg, dan tidak ditemukan," ujar sejarawan Asvi Warman Adam.

Dua buku Revolusi Belum Selesai, yang memuat pidato Bung Karno pasca 30 September 1965, tak memuatnya. Di sana pidato Bung Karno yang disusun secara kronologis melompat dari pidato tanggal 3 Oktober 1965 langsung ke pidato 10 Oktober 1965. Asvi, mengutip seorang bekas menteri Kabinet Dwikora, menduga naskah itu sengaja dihilangkan karena memuat "pembelaan" Nyoto.

Betulkah? Tak jelas. Amarzan Loebis, wartawan senior yang hadir di Istana Bogor pada saat itu, mengakui bahwa Nyoto memang menyampaikan pidato pendek untuk menjelaskan posisi PKI dalam tragedi G30S. Sukarno berkali-kali pula menyebut nama Nyoto untuk mendapatkan pembenaran tentang pandangan Presiden terhadap G30S. "Sukarno menunjuk Nyoto dan bilang, masa orang seperti ini mau berontak," kata Amarzan.

Sebelum berangkat ke Bogor, Lukman sempat mampir ke rumah Nyoto di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Di sana mereka saling menyatakan tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. "Mereka berpelukan hanya dua meter dari hadapan saya," kata Amarzan Loebis lagi (lihat, Sang Orator di Senja Masa).

Sayangnya, tak ada dokumentasi yang bisa menjelaskan drama dalam rapat di Istana Bogor itu dengan lengkap. Saat itu memang beberapa wartawan Istana datang meliput. Tapi tak semua berani menuliskannya di koran. Maklum saja, saat itu semua media tiarap di bawah bayang-bayang kekuasaan Angkatan Darat. "Padahal sidang itu penting karena merupakan pertemuan resmi Nyoto dengan Sukarno," kata Achadi.

TEMPO, yang berusaha menelusuri keberadaan dokumen itu, tak mendapatkan hasil yang memuaskan. Laporan wartawan Radio Republik Indonesia, Darmo Sugondo (alm.), yang hadir dalam rapat itu, tak jelas keberadaannya. RRI hanya menyimpan dokumen mereka periode lima tahun terakhir.

Satu-satunya media yang memuat secuil berita tentang rapat bersejarah itu adalah Kompas edisi 7 Oktober 1965. Berita ini dibuat berdasarkan keterangan pers usai sidang yang dibacakan Wakil Perdana Menteri I Dr. Subandrio.

Kompas menuliskannya dalam tiga kolom pendek. Bukan notulensi lengkap pidato Bung Karno, melainkan garis besarnya saja. Di antaranya, Bung Karno mengutuk pembunuhan buas G30S dan pelakunya. Presiden juga mengatakan tidak membenarkan pembentukan Dewan Revolusi Indonesia. Ia juga menegaskan hanya dirinyalah satu-satunya orang yang berwenang mendemisionerkan Kabinet Dwikora.

Seperti keterangan Achadi, laporan Kompas itu juga menegaskan penjelasan Bung Karno bahwa peristiwa G30S adalah bagian dari rangkaian revolusi Indonesia yang belum selesai. "Supaya rakyat Indonesia tidak pecah dan menyeret munculnya nekolim (neokolonialisme dan imperialisme) baru, supaya rakyat Indonesia tidak diadu-domba dan dikemudikan oleh perasaan dendam, insya Allah saya (akan) mencari penjelasan politik yang adil demi keselamatan revolusi Indonesia," tutur Sukarno.

Apa penjelasan politik itu? Menurut Amarzan, dalam pertemuan yang lain, Bung Karno pernah menyebut akan membubarkan PKI, mengadili semua orang PKI yang terlibat dalam G30S, dan membentuk partai baru untuk menampung sisa-sisa PKI yang tidak terlibat. "Partai baru itu dasarnya adalah Sukarnoisme dan akan dipimpin oleh Nyoto," kata Amarzan. Sukarno tampaknya sudah patah arang terhadap D.N. Aidit, yang secara tersirat pernah ditudingnya sebagai pimpinan PKI yang keblinger. "Saat menerima delegasi sebuah organisasi pemuda nasionalis, dekat menjelang G30S, Bung Karno pernah bilang, 'Aidit itu makin kurang ajar. Nanti saya hajar dia'," kata Amarzan lagi.

Tapi sejarah tinggal sejarah. Nyoto, seperti juga D.N. Aidit dan Sukarno, tak pernah bisa menjelaskan sejarah dalam versi mereka. Pidato si Bung Besar bahkan tak bisa dibaca publik hingga buku Revolusi Belum Selesai ini diterbitkan. Tak semuanya lengkap: pidato 6 Oktober 1965 kini tetap jadi misteri.

Endah W.S.

----------------------------------------------------------------

Sang Orator di Senja Masa

HARI terasa sangat panjang di Istana Bogor, 6 Oktober 1965. Sebelum saya benar-benar terbangun pada Rabu pagi itu, Hardono, satu di antara staf keamanan Menteri Negara Nyoto, mengetuk pintu kamar kos saya di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, yang hanya terpisah satu rumah dari Mess Perwira Tjakrabirawa, tempat tinggal Letnan Kolonel Untung, "pemimpin" Gerakan 30 September.

"Bung diajak Bung Nyoto ke Istana Bogor," kata Hardono dengan wajah serius. "Ngapain?" saya bertanya. "Kayaknya diminta motret," katanya. "Tapi ndak usah bawa toestel, pakai Bung Nyoto punya," ia melanjutkan. Saya maklum: Nyoto tentu tahu alat-alat potret saya tak lebih dari sekelas Kiev, buatan Rusia, yang sebentar-sebentar engkol filmnya macet.

Tak sampai lima menit kami sudah berada di ruang tamu rumah Nyoto di Jalan Malang, Menteng, Jakarta Pusat. Pada hari-hari tertentu saya biasa datang ke rumah itu, meminjam buku atau menonton Nyoto bermain musik dengan teman-teman masa mudanya, antara lain Jack Lesmana. Dalam sekejap Nyoto muncul, menyalami saya, lalu menyerahkan dua kamera dan segepok film. "Buatlah foto sebanyak-banyaknya," katanya. "Foto apa?" saya bertanya. "Apa saja."

Dalam hitungan menit pula sebuah mobil resmi menteri—Dodge Dart—berhenti di depan rumah. Penumpangnya, Menteri Negara dan Wakil Ketua I CC PKI, M.H. Lukman, memasuki ruang tamu. Lukman tak mengenal saya, dan inilah pertemuan saya yang pertama dengan dia. Lukman dan Nyoto mengenakan setelan putih-putih, "pakaian resmi" anggota Kabinet Dwikora.

Di depan saya kedua orang itu bersalaman, berpelukan, kemudian saya dengar Nyoto bertanya, "Apa sebetulnya yang terjadi?" Lukman menjawab, "Saya juga tak tahu!" Mampus, pikir saya. Kalau betul kedua orang ini tak tahu apa yang terjadi pada 30 September 1965, lalu siapa yang berada di balik peristiwa yang, konon, digerakkan oleh PKI itu? Nyoto, pada akhir September itu, memang sedang berada di Medan dalam rombongan Wakil Perdana Menteri I Subandrio.

Dalam kendaraan terpisah, kami berangkat ke Bogor, langsung menuju Istana. Pengawalan di sana terasa lebih ketat dari biasanya. Beberapa menteri datang dengan pengawalan panser, di antaranya Menteri Negara Boegi Sumpeno, kolonel polisi. D.N. Aidit tak tampak di antara para menteri. Selama beberapa hari beredar kabar, Ketua CC PKI itu minggat ke Jawa Tengah.

Tak banyak yang dihasilkan sidang kabinet itu. Nyoto membacakan pernyataan ringkas ketidakterlibatan PKI dengan Gerakan 30 September. Kemudian Bung Karno berpidato, singkat juga, yang pada dasarnya mengulangi pidatonya yang kemarin-kemarin, bahwa kejadian tersebut adalah "...een rimpeltje in de oceaan...."—sebuah riak di tengah samudra.

Itulah untuk pertama kalinya saya merasakan pidato Bung Karno seperti tidak terstruktur, dan tidak terlalu fokus. Ia, misalnya, di samping menyatakan PKI cukup banyak berjasa dalam revolusi Indonesia dan sebagai partai tidak bersalah, juga "menyenggol" Gerakan 30 September sebagai "penyakit kekanak-kanakan" yang dipersamakan dengan Peristiwa Madiun 1948. Di dalam kepustakaan Leninisme, "penyakit kekanak-kanakan" adalah nama lain untuk "penyakit kekiri-kirian", yang biasanya dirujukkan kepada partai komunis yang ingin cepat menang dan melupakan penggalangan kekuatan front nasional.

Bung Karno terkesan lelah, walau tampak masih berwibawa. Seusai sidang, semua menteri bergegas pulang. Ia saya lihat berbincang-bincang sebentar dengan Nyoto, sebelum masuk ke ruangan dalam Istana. Itulah pula untuk terakhir kalinya saya menyaksikan kedua orang itu.

Untuk seorang wartawan muda pada masa itu, mendengarkan pidato Bung Karno merupakan keasyikan tersendiri. Artikulasinya bagus, intonasinya dinamis, dan ia sering mengulang kalimat tertentu sehingga memudahkan pencatatan. Saya dengar beberapa pidatonya ditulis oleh orang lain, termasuk Nyoto. Tapi, dalam pidato tanpa teks pun, Sukarno tetap memikat.

Bung Karno selalu seperti punya "skenario" yang matang untuk membangkitkan dan "mempermainkan" emosi massa. Dia tahu persis kapan waktu yang tepat untuk menggunakan frasa "ganyang," "holopis kuntul baris," "bercancut taliwondo," atau "ini dadaku, mana dadamu," yang sebelumnya tak dikenal dalam khazanah pidato di Indonesia. Begitu meluncur dari Bung Karno, frasa itu segera menemukan "rumah"-nya di hati jutaan rakyat Indonesia.

Dengan kefasihannya dalam beberapa bahasa asing, ia bisa "seenaknya" mengutip kalimat orang besar mana saja dalam bahasa aslinya. Bahkan Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia pada masa itu, Howard P. Jones, mampu terkekeh ketika dituding Bung Karno dalam sebuah pidatonya di Senayan: "Go to hell with your 'Indonesia going to collapse'!" Biasanya, setelah dituding begitu, besoknya Duta Besar Jones dan Nyonya diundang ke Istana Bogor untuk sarapan nasi goreng....

Tapi sesungguhnyalah, terutama sejak awal 1965, kesehatannya tak lagi bagus. Pada awal September tahun itu, ketika saya menyertai serombongan penghadap yang ikut sarapan pagi di beranda Istana Negara, kami menyaksikan berbagai suntikan, pil, kapsul, dan madu arab bolak-balik disodorkan oleh tim kesehatan kepresidenan yang mendampingi Bung Karno. Pada acara-acara malam pun, setelah acara resmi, Bung Karno lebih sering melepas sepatu, dan tampaklah kakinya yang membengkak.

Setelah 6 Oktober 1965, saya hanya mengikuti pidato Bung Karno dari radio dan televisi. Jelas sekali terasa, kesempatannya berpidato di depan massa yang besar mulai dibatasi. Kehilangan kontak langsung dengan lautan massa itu membawa perubahan tersendiri dalam pidato-pidato Bung Karno. Ia tak lagi sebergelora dulu, tapi sebaliknya, di lingkungan yang lebih kecil ia seperti lebih bebas dan spontan, termasuk dalam menggunakan kata-kata yang rada "saru". Atau itu hanya bagian dari kemarahan dan kejengkelannya yang terpendam? Apalagi setelah pidato kenegaraan (dan "pertanggungjawaban")-nya bolak-balik ditolak oleh MPR(S) pasca-G30S, semangat berpidato Bung Karno menyusut drastis.

Keahlian Bung Karno berpidato sangat tidak sebanding dengan kemampuannya menyanyi. Ia hampir tak pernah menampik kesempatan tarik suara, tapi orkes yang mengiringi selalu mengalami kesulitan untuk mencari tangga nada yang pas dengan suara si Bung. Pilihan lagunya tak banyak. Kalau bukan Di Timur Matahari, tentulah Siapa Bilang Bapak dari Blitar, Burung Kakaktua dengan lirik improvisasi, atau paling jauh Aryati. Ia suka lagu keroncong, dan hafal sejumlah gubahan komponis klasik Barat.

Ketika malam-malam yang menyenangkan itu pun mulai "dibredel", makin lengkaplah persiapan menuju babak penutup sang Orator. Ia sudah dipisahkan dari massanya, dari sahabat-sahabatnya, bahkan dari keluarganya. Yang tersisa hanyalah sejumlah penyakit dan sebuah era yang siap ditelan senja masa, menuju malam sangat panjang.

Amarzan Loebis



Sumber: Iqra, TEMPO, No. 34/XXXII/20 - 26 Oktober 2003
Blog dr:
http://www.mesias.8k.com/100tahun.htm

Selasa, 30 Maret 2010

“Aku pendukung Bung Karno sampai mati”

“Aku pendukung Bung Karno sampai mati”
WASIAT SOEDJINAH

Menyusul tulisan yang berisi rekaman wawancara HD. Haryo Sasongko dengan Soedjinah (harap baca In memoriam : Soedjinah, pimpinan Gerwani dan pendukung Bung Karno) maka berikut di bawah ini disajikan tambahannya untuk melengkapi tulisan tersebut. Tambahan ini, yang berjudul “Wasiat Soedjinah”, mengandung pesan atau keinginan Soedjinah untuk mengumpulkan dan menerbitkan dokumen-dokumen yang ditulisnya di penjara dengan pensil.

Untuk buku yang berisi kumpulan dokumen-dokumen yang ditulisnya dalam keadaan sulit dan secara sembunyi-sembunyi itu, Soedjinah memilih judul “AKU PENDUKUNG BUNG KARNO SAMPAI MATI”. Dokumen-dokumen yang ditulisnya itu telah diserahkan secara sembunyi-sembunyi kepada seorang wartawan yang berhasil berhubungan dengan Soedjinah di penjara dengan menyamar sebagai kuli bangunan.

Dalam rangka usaha untuk bisa merealisasikan wasiat Soedjinah ini HD Haryo Sasongko menghimbau wartawan yang pernah mengadakan kontak dengan Soedjinah supaya menghubunginya. Isi wasiat Soedjinah dan himbauan kepada wartawan tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut :

“Soedjinah, seorang pejuang wanita yang pantang menyerah untuk tetap memberikan dukungannya kepada Bung Karno setelah peristiwa Kudeta berdarah 1965 dan Bung Karno jatuh dari kedudukannya sebagai Presiden RI, telah wafat pada 6 September 2007 di Panti Jompo "Waluyo Sejati", Kramat Jakarta Pusat.

Rekaman suara Soedjinah dalam wawancara dengan saya pada tahun 2000 (baca kembali Soedjinah in Memoriam oleh Umar Said) telah saya serahkan kepada Lontar Foundation. Di luar wawancara yang terekam, ada pembicaraan lisan antara saya dengan Soedjinah. Intinya, dia ingin agar dokumentasi berupa tulisan-tulisan tangan yang dia selundupkan dari kamar tahanan dan disimpan oleh seorang wartawan (tidak dapat saya sebut namanya di sini) dapat dihimpun kembali secara lengkap.

Dia ingin dokumen itu dibukukan dan dia mengusulkan berjudul AKU PENDUKUNG BUNG KARNO SAMPAI MATI. Dokumen itu ditulis dengan pensil di atas kertas kecil sambil bersembunyi di WC kamar tahanannya. Kertas kecil-kecil itu sengaja disobek-sobek, ada yang diremas-remas seperti sampah, agar tidak mencurigakan di mata petugas penjara, dan wartawan tersebut berhasil menemui Soedjinah karena menyamar sebagai kuli bangunan yang harus memperbaiki bangunan di penjara tempat Soedjinah ditahan (ada beberapa naskah yang terpaksa dia kunyah dan ditelan karena takut kepergok petugas penjara yang tiba-tiba lewat).

Dari wawancara saya dengan seorang mantan aktivis Wanita Marhaen, dia menyebutkan kenal baik dengan Soedjinah dan mereka berdua ditambah satu wanita lagi (dari golongan agama) selalu di dekat Bung Karno dan bertugas mencicipi makanan apabila Bung Karno akan mengunjungi suatu daerah.

Sampai kini saya tidak berhasil menghubungi wartawan yang dimaksud Soedjinah. Mohon apabila wartawan yang dimaksud membaca surat ini, kiranya dapat menghubungi saya melalui email. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih dan saya bersedia untuk menjaga kerahasiaan saudara. Saya merasa berdosa belum melaksanakan wasiat almarhumah. Selamat jalan Soedjinah, maafkan saya.

HD. Haryo Sasongko


In memoriam :
Soedjinah, pimpinan Gerwani
dan pendukung Bung Karno

Berikut di bawah adalah sekelumit dari riwayat hidup Soedjinah, seorang wanita Indonesia yang dalam hidupnya dari sejak muda belia sudah ikut dalam perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia, yang kemudian menjadi pimpinan organisasi wanita yang terbesar di Indonesia, Gerwani. Soedjinah dipenjara selama belasan tahun oleh rezim militer Orde Baru setelah ditangkap dalam tahun 1967 karena ia aktif melakukan kegiatan-kegiatan bersama sejumlah kawan-kawannya dalam gerakan PKPS (Pendukung Komando Presiden Sukarno).

Soedjinah, yang pernah beberapa tahun mewakili gerakan wanita Indonesia dalam Gabungan Wanita Demokratik Sedunia (GWDS) dan ikut dalam berbagai konferensi internasional, telah mengalami bermacam-macam siksaan selama dalam tahanan militer, seperti halnya banyak wanita lainnya yang pernah ditahan atau dipenjarakan selama bertahun-tahun oleh rezim Suharto dkk.

Dengan menyimak sejenak riwayat hidupnya, yang berupa wawancara dengan HD Haryo Sasongko (editor buku "Terempas Gelombang Pasang" karya Soedjinah, terbitan ISAI) maka kita semua ingat kembali kepada kekejaman dan kesewenang-wenangan rezim Suharto terhadap orang-orang kiri, termasuk anggota dan simpatisan PKI dan pendukung Presiden Sukarno.

Riwayat hidup Soedjinah, yang menggambarkan bagaimana ia telah berjuang untuk bangsa, dan khususnya untuk kebangkitan dan kebebasan wanita Indonesia, perlu diketahui oleh banyak orang, terutama generasi muda dewasa ini dan di masa-masa yang akan datang.. Selain itu, penyajian secara singkat kisah hiduppnya ini juga untuk mengingat kembali betapa besar kekejaman rezim militer Suharto dkk terhadap ratusan ribu -- bahkan jutaan -- orang-orang yang tidak bersalah apa-apa.

Soedjinah, yang di harituanya – sampai wafatnya -- terpaksa tinggal di sebuah rumah jompo di Jakarta, hanyalah seorang dari begitu banyak kader-kader, aktifis, dan pimpinan Gerwani, yang telah dipersekusi di seluruh Indonesia. Sekarang ini masih banyak di antara mereka yang tetap terus mengalami berbagai penderitaan sebagai eks-tapol.

Mengingat itu semualah maka berikut ini disajikan wawancara dengan Soedjinah, yang dilakukan oleh HD Haryo Sasongko dalam bulan Desember 2000, yang selengkapnya adalah sebagai berikut.

Umar Said

* * * *

Tanggal 6 September 2007, SOEDJINAH telah meninggal dunia. Untuk mengenang wafatnya tokoh wanita yang pernah terlibat dalam perjuangan fisik di masa revolusi kemerdekaan dan perjuangan politik di masa prakemerdekaan, namun nasib dirinya sendiri tidak merdeka sampai di akhir hidupnya, berikut dikutip kembali sinopsis wawancara dengan SOEDJINAH, diangkat dari kumpulan dokumen tentang Korban Tragedi '65. Karena wawancara dilakukan pada tahun 2000, jadi tidak mencakup kisah SOEDJINAH ketika masuk ke rumah Jompo. Semoga ada manfaatnya. (HD. Haryo Sasongko)

« Menyaksikan dan merasakan hidup terjajah, Soedjinah terpanggil untuk ikut bergerilya membantu Tentara Pelajar dan laskar-laskar lainnya yang berniat mengusir penjajah. Karena tak tahan melihat darah, dia memilih sebagai kurir. Selama Perang Kemerdekaan dia tak pernah absen, baik dalam menghadapi Clash I atau Clash II. Usai penyerahan kedaulatan barulah dia kembali ke sekolah, kuliah dan kemudian aktif di Pemuda Rakyat serta Gerwani. Dari sana dia kemudian melanglang buana, menghadiri berbagai forum pertemuan internasional. Namun tragedi 1965 membawanya masuk penjara dan disekap di sana selama 16 tahun. Toh, di balik terali besi itu, dia terus melanjutkan perjuangannya. Dia pun menulis pengalaman, puisi dan cerita pendek di kertas yang dicurinya dari petugas penjara. Kini di masa tuanya, tanpa suami tanpa anak, Soedjinah memanfaatkan kemampuannya berbahasa Inggris, Belanda dan Jerman dengan menjadi penerjemah dan memberikan kursus di LSM maupun di rumah kontrakannya.

Ikut Bergerilya dan Melanglang Buana

Sebagai anak pertama dari seorang Abdi Dalem Kraton Kasunanan Sala yang lahir pada tahun 1929 ini, Soedjinah mendapat kesempatan mengecap pendidikan HIS selama tujuh tahun sampai tamat yang kala itu sebenarnya hanya terbuka bagi keluarga orang-orang Belanda atau keluarga bangsawan saja. Hal itu terjadi karena Soedjinah “didekati” oleh seorang putera Mangkubumi. Karena itu pula Soedjinah sudah menguasai bahasa Belanda sejak masa kanak-kanak. Kemudian dia melanjutkan pendidikan di MULO, namun kali ini tidak sampai tamat karena baru menginjak tahun pertama Jepang datang. Sehingga Soedjinah harus melanjutkan pendidikan di sekolah Jepang selama tiga tahun dan selesai di masa penjajahan Jepang.

Ketika itu Soedjinah mulai merasakan perlakuan penjajah Belanda maupun Jepang yang sama-sama merendahkan bangsanya. Mula-mula dia harus memberi hormat terhadap orang-orang Belanda dan kemudian terhadap orang-orang Jepang. Sementara orang-orang pribumi tetap menjadi warga kelas tiga pada strata yang paling bawah. Lebih-lebih Soedjinah sangat sakit hati karena ketika itu – dengan alasan untuk biaya perang – Jepang menyita harta benda milik rakyat pribumi seperti emas atau berlian sambil melakukan pemerasan serta pelecehan seksual terhadap kaum wanita.

Karena itu sejak Proklamasi Kemerdekaan Soedjinah menyambut gembira dengan ikut serta di badan-badan perjuangan. Pada masa perang kemerdekaan berkecamuk, Soedjinah pada tahun 1946-47 (Clash I) masuk dalam Barisan Penolong sebagai kurir dan membantu logistik dapur umum di tengah medan pertempuran yang terjadi antara lain di daerah Ampel dekat Salatiga hingga Tengaran dekat Semarang. Dia bergaul akrab dengan para laskar pejuang muda yang kebanyakan dari TP (Tentara Pelajar), antara lain dipimpin oleh Achmadi yang di kemudian hari menjadi seorang menteri pada masa pemerintahan Bung Karno.

Pada Clash II yang berlangsung hingga tahun 1949, Soedjinah juga ikut aktif bergerilya bersama tentara dan TP sampai di Bekonang dan tempat tempat lain. Salah seorang pimpinannya yang masih diingat Soedjinah ialah Soebroto yang di kemudian hari juga menjadi menteri. Ketika itu Soedjinah berperan sebagai kurir antar pasukan gerilya yang berada di desa dan di perkotaan. Siang malam harus jalan kaki menyusup di pedesaan untuk menghindari patroli Belanda.

Tahun 1950 ketika terjadi cease fire, Soedjinah kembali ke kota (Sala) untuk melanjutkan sekolah sampai dapat menyelesaikan SMAnya di Yogyakarta pada tahun 1952. Ketika itu Soedjinah pernah mendapatkan beasiswa untuk 5 tahun. Dia manfaatkan beasiswa itu untuk masuk ke Universitas Gajah Mada di fakultas sosial politik yang sayangnya hanya sampai tiga tahun saja karena beasiswa sudah tidak ada lagi. Selanjutnya Soedjinah aktif di Pesindo yang di kemudian hari menjadi Pemuda Rakyat dan juga di Gerwis yang di kemudian hari menjelma menjadi Gerwani. Bahkan ketika Gerwis menyelenggarakan Konferensi Nasionalnya yang pertama di Surabaya pada tahun 1951, Soedjinah sudah ikut serta di mana ketika itu juga ada SK Trimurti sebagai salah seorang ketuanya. Pada masa itu di samping Gerwis juga sudah ada organisasi wanita Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) yang sudah berdiri sejak 1946 dan Aisyiyah dari Masyumi. Sejak Konferensi Nasional yang pertama itu, Gerwis sudah menjadi anggota Gabungan Wanita Demokratis Sedunia.

Dalam Kongres Gerwis di Jakarta pada 1954, barulah namanya berubah menjadi Gerwani dan sekretariatnya pun pindah dari Surabaya ke Jakarta dengan Ketua Umum Umi Sardjono. Sejak itu pula Gerwani mengembangkan sayapnya dan jumlah keanggotaannya terus meningkat di seluruh Indonesia. Soedjinah semakin aktif di organisasi ini. Aksi-aksi menentang kenaikan harga bahan pokok, pemerkosaan dan pelecehan seksual menjadi salah satu tema perjuangan Gerwani yang banyak menarik simpati masyarakat wanita, sehingga sebelum pecahnya tragedi 1965, Gerwani merupakan organisasi wanita terbesar di Indonesia.

Ketika pada tahun 1955 diselenggarakan Festival Pemuda Sedunia di Praha Chekoslovakia, Soedjinah mengikutinya sebagai wakil dari Pemuda Rakyat. Seusai Festival, Soedjinah mendapat tugas dari Gerwani untuk bekerja di Sekretariat Gabungan Wanita Demokratis Sedunia yang berkedudukan di Berlin Timur selama dua setengah tahun. Di sinilah puteri Abdi Dalem Keraton Kasunanan Sala ini medapat banyak pengalaman dalam pergaulan dengan wakil-wakil gerakan wanita berbagai negara, baik dari AS, negara-negara Eropa Barat, Timur, Australia, Afrika maupun sesama negara-negara di Asia. Ketika itu wanita Asia yang mengikuti kegiatan kewanitaan di forum internasional baru dari India, China dan Indonesia. Selama aktif bekerja di Berlin Timur itu, Soedjinah mendapat kesempatan pula untuk memperdalam pengetahuan dalam bahasa Inggris dan Jerman yang dilakukannya seusai tugas kantor.

Dari Gerakan Wanita Demokratis Sedunia itu pula Soedjinah kemudian mendapat tugas “melanglang buana” dengan mengikuti kongres-kongres di Eropa seperti di Prancis, Denmark, Italia, Austria, Finlandia, Yugoslavia, Swedia dan juga Uni Soviet dan China. Tahun 1957 Soedjinah baru kembali ke Indonesia dan banyak membuat karya-karya jurnalistik berupa laporan perjalanan yang pernah dilakukannya di berbagai suratkabar, di samping menjadi penerjemah untuk bahasa Inggris, Belanda dan Jerman bagi tamu-tamu asing yang mengunjungi sekretariat Gerwani. Di samping karya-karya jurnalistik, untuk menambah pendapatan guna menopang biaya hidup (karena dana dari organisasi tidak mungkin mencukupi), Soedjinah juga membuat karya-karya sastra dengan menulis cerita pendek, esai atau puisi dan dimuat di berbagai media.

Tahun 1963 Soedjinah aktif sebagai penerjemah untuk perwakilan kantor berita asing di Indonesia, antara lain Pravda (Uni Soviet) di samping dia sendiri aktif menulis pemberitaan di suratkabar dalam negeri. Karena itu Soedjinah sering juga keluar masuk Istana Merdeka dan bertemu tokoh-tokoh nasional. Ketika diselenggarakan Kongres Buruh Wanita Internasional di Rumania, Soedjinah ditunjuk oleh pimpinan Sobsi sebagai penerjemah untuk delegasi Gerwani Indonesia. Selanjutnya mendapat undangan untuk mengunjungi China.

Haappp ... Lalu Ditangkap

Aktivitasnya di DPP Gerwani di Bagian Penerangan dan Penerjemahan, membuat dia harus sering tidur di kantor. Sampai kemudian, terjadilah Peristiwa Gestapu dan dirinya bersama kawan-kawan lainnya ditangkap dalam suatu penggerebegan yang dilakukan oleh suatu aparat keamanan. Padahal, semua personil Gerwani sedang sibuk menyiapkan suatu acara, sehingga mereka kaget ketika di siang hari tanggal 1 Oktober 1965 mendengar warta berita tentang telah terjadinya peristiwa pembunuhan sejumlah jenderal di Lubang Buaya dan juga tentang telah dibentuknya Dewan Revolusi untuk menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal. Mereka benar-benar tak tahu menahu tentang hal itu. Konsentrasi mereka masih pada rencana penyelenggaraan Kongres Gerwani. Terdorong keingintahuannya, Soedjinah pada hari itu pergi ke kantor CC PKI dan ternyata kantor itu sudah dirusak massa. Soedjinah tak mau kembali ke kantor DPP Gerwani, tetapi juga tak pulang ke rumah tempat tinggalnya. Dia pilih berkeliling menyelinap dari tempat ke tempat untuk mencari informasi lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya telah terjadi.

Dan informasi memang terus mengalir. Penangkapan-penangkapan telah terjadi atas diri para tokoh Gerwani. Rumah yang ditempati Soedjinah dan dalam keadaan sudah dikosongkan, juga kantor DPP Gerwani itu sendiri, ternyata sudah dijarah. Dia menginap dari satu tempat ke lain tempat secara sembunyi-sembunyi di rumah kenalan atau saudara. Tak pernah ada tempat yang diinapinya sampai tiga malam berturut-turut. Pernah juga dia tinggal di rumah mantan Kolonel Suwondo dari Divisi Brawijaya yang dikenalnya sebagai pendukung Bung Karno.

Di tengah situasi politik yang memanas, Soedjinah bersama sejumlah kawannya yang sehaluan dalam mendukung Bung Karno sempat membuat buletin bernama PKPS (Pendukung Komando Presiden Soekarno). Ketika itu Soeharto sudah mencium adanya kegiatan tersebut dan siapa yang terbukti sebagai pendukung Soekarno ditangkap. Selama dua tahunan, Soedjinah terus “bergerilya” sambil menyebarkan buletin ini ke tengah masyarakat. Termasuk ke kedutaan-kedutaan negara asing. Sampai akhirnya dia tertangkap pada 17 Februari 1967 di rumah seorang kawan (yang juga ikut ditangkap) di daerah Pasar Minggu Jakarta Selatan.

Soedjinah dibawa ke suatu tempat – mungkin sebuah sekolah tionghoa di daerah Pintu Besi yang dijadikan semacam posko di Gunung Sahari Jakarta Pusat - oleh petugas keamanan yang menangkapnya dan mulailah dia menyaksikan bahkan mengalami sendiri berbagai bentuk penyiksaan yang amat kejam bahkan banyak tahanan yang sampai mati dalam penyiksaan. Dia sendiri (seperti kawan-kawan lainnya yang sama-sama tertangkap, antara lain Soelami, Soeharti dan Sri Ambar) ditelanjangi dan dipukuli dengan rotan oleh delapan orang tentara berbaju loreng. Seorang di antaranya, Letkol Acep, pimpinan di posko tersebut, konon pernah dididik oleh CIA. Ketika kelihatan Soedjinah hampir mati - dan dia memang pura-pura mati - barulah seorang tentara melerai agar penyiksaan dihentikan sehingga tahanan dapat dibawa ke pengadilan. Padahal di bagian belakang halaman gedung tempat penyiksaan itu sudah digali lubang-lubang untuk mengubur mayat mereka yang mati disiksa.

Soedjinah bersama tiga kawannya yang tidak sampai mati dalam penyiksaan itu akhirnya dibawa ke tempat lain secara berpindah-pindah hingga lima kali (yang masih diingat, Kodam Jayakarta, kantor CPM Guntur), untuk kemudian ditahan di Penjara Wanita Bukitduri guna diajukan ke pengadilan karena terbukti menerbitkan PKPS. Karena dianggap sebagai orang berbahaya, maka Soedjinah dimasukkan ke sel khusus untuk diisolasi. Di Bukitduri inilah Soedjinah bertemu dengan banyak kawan-kawan sesama Gewani, baik tingkat pimpinan, aktivis hingga anggota biasa dan simpatisan.

Di tempat ini pula dia bertemu dengan anak-anak perempuan muda yang ditangkap di Lubang Buaya. Mereka berusia sekitar 14 tahunan sehingga dapat dipastikan bukanlah anggota Gerwani, karena batas minimal usia agar bisa menjadi anggota Gerwani adalah 18 tahun. Dari merekalah Soedjinah mendapat kepastian bahwa tidak ada adegan mencungkil mata apalagi memotong alat kelamin para jenderal. Mereka di sana karena ikut latihan sukarelawan Dwikora dari Pemuda Rakyat dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Merekalah yang ketika ditangkap malah diperkosa oleh aparat yang menangkapnya dan dipaksa untuk mengaku sebagai anggota Gerwani. Di antara mereka yang menghadapi pemaksaan dan penyiksaan itu – ada yang bernama Emi - adalah pelacur muda yang masih buta huruf, dan baru saja bebas dari Penjara Bukitduri sebulan sebelumnya akibat kasus kriminal.

Di sel isolasi khususnya, Soedjinah tidak dapat berkomunikasi dengan siapa pun karena tertutup rapat dan hanya ada lubang kecil untuk bernafas. Sehari hanya diberi kesempatan keluar untuk “angin-angin” selama satu jam dengan penjagaan ketat. Makanan hanya diberikan sekali sehari sekitar dua sendok nasi saja atau jagung rebus sekitar 40-60 butir. Bila ada kesempatan keluar sebentar, dia makan daun apa saja yang ada di dekatnya untuk menutup rasa laparnya Dia diisolasi penuh di tempat ini selama 8 tahun, untuk selanjutnya dipisah di sel isolasi untuk tahanan kriminal. Di sel ini Soedjinah dapat mencuri-curi kesempatan agar bisa berdialog dengan tahanan kriminal dan mendapatkan banyak informasi dari mereka tentang kenapa mereka ditahan dan bagaimana pula perlakuan aparat penguasa terhadap tahanan politik maupun tahanan kriminal selama di dalam selnya.

Sementara itu pemeriksaan atas dirinya masih berjalan terus. Di antara mereka yang melakukan pemeriksaan itu adalah bekas teman sekolah Soedjinah. Ketika kemudian diajukan ke depan pengadilan di Pengadilan Jakarta Pusat pada tahun 1975 (hanya empat orang anggota Gerwani yang ketika itu diajukan ke depan pengadilan, yakni Soedjinah, Soelami, Soeharti dan Sri Ambar karena terbukti menyebarkan buletin PKPS dan nyata-nyata menentang rezim Soeharto-Nasution), seorang hakim yang mengadilinya adalah teman kuliahnya ketika di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Hakim itu – keponakan SK Trimurti – masih mengenal baik siapa Soedjinah - ketika itu menjadi terdakwa II - yang kemudian divonisnya dengan hukuman 18 tahun. Vonis ini tidak berubah ketika Soedjinah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Sesama aktivis Gerwani lainnya yang juga mendekam di Penjara Bukitduri, seperti Tanti Aidit, Ny. Mudigdo dan Umi Sardjono - semua pimpinan Gerwani - yang bertemu dengan Soedjinah tidak ada yang diadili karena tidak ada bukti apa-apa yang dapat diajukan ke depan pengadilan kecuali sebagai aktivis Gerwani itu saja.

Sekitar tahun 1980, dari Penjara Wanita Bukitduri Soedjinah dipindahkan ke Penjara Tangerang. Di tempat inilah dia mendapatkan kesempatan untuk menuliskan semua yang dialaminya selama di Penjara Bukitduri, termasuk pengakuan sesama tahanan – para gadis remaja yang tertangkap di Lubang Buaya dan dipaksa mengaku sebagai anggota Gerwani itu – di kertas-kertas yang dicurinya. Ketika itu, karena mempunyai kemampuan melukis, Soedjinah diberi tugas membuat disain untuk kain bordir yang akan dikerjakan sesama tahanan wanita. Sebagai “disainer” tentu saja dia membutuhkan kertas dan pensil. Dan inilah memang yang sesungguhnya dia cari. Sebagian kecil dari kertas yang disediakan petugas penjara itu dia curi, disembunyikan, yang kemudian dipakai untuk menuliskan catatan-catatan tentang pengalaman sesama tahanan, juga puisi bahkan cerita pendek. Catatan yang ditulis di toilet di dalam selnya ini kemudian diselundupkan lewat seorang wartawan dari Harian Sinar Harapan (kini Suara Pembaruan) yang menyaru sebagai arsitek dan tukang bangunan sehingga bisa sering datang mendekatinya. Tulisan yang dikumpulkan oleh si wartawan itulah yang di kemudian hari diserahkan kembali kepada Soedjinah sesudah dia bebas dan diterbitkan oleh Lontar sebagai buku.

Di penjara Tangerang, Soedjinah memang sedikit mendapatkan kebebasan, tidak dikurung dalam sel lagi. Namun tetap dengan baju biru karena statusnya masih tetap “disamakan” dengan tahanan kriminal.Dia banyak memberikan bimbingan dan pelajaran bahasa Inggris kepada para tahanan kriminal sehingga mereka memanggilnya “mamie” kepada Soedjinah. Tahun 1983 dia baru dibebaskan sehingga dia total menjalani hidup di belakang terali besi selama 16 tahun dari 18 tahun yang harus dijalaninya. Di luar penjara, tidak berarti dia benar-benar bebas merdeka. Di samping masih dikenai wajib lapor diri di Kodim Jakarta Selatan sampai 1997, KTPnya juga diberi stigma “ET” sampai 14 tahun kemudian dan tanda itu baru hilang setelah Soeharto lengser.

Ketika dibebaskan, Soedjinah tinggal di rumah saudaranya – Widodo yang juga pernah mendekam di Pulau Buru – yang berada di Gandul. Menyadari dirinya tak mungkin bisa bekerja di instansi pemerintah berhubung stigmatisasi pada KTPnya itu, maka untuk menghadapi hari-hari depannya Soedjinah hanya bisa mengandalkan kegiatan memberikan les bahasa asing untuk menghidupi dirinya. Dia mengambil sertifikat untuk penerjemah bahasa Belanda di Erasmushuis selanjutnya dia mengambil sertifikat sebagai guru bahasa Inggris di LIA. Dengan modal inilah Soedjinah menapaki hari-hari kebebasannya dalam usia tua sebagai penerjemah dan guru bahasa Inggris di sejumlah LSM, antara lain Kalyana Mitra dan Solidaritas Perempuan serta Yasalira yang dikelola oleh Kartini Syahrir.

Beberapa karya terjemahan telah dihasilkan pula, antara lain dari tulisan Carmel Budiardjo dan sejumlah penulis dari Australia. Kini, Soedjinah yang pernah mendapatkan Award dari Hawaii University dan Hamlet Award karena ketekunannya untuk terus menulis meskipun berada di dalam penjara, tinggal seorang diri di sebuah rumah sewa ukuran kecil yang harus dibayarnya setiap bulan Rp 125.000,- Di rumah itu pula dia memberikan les bahasa Inggris untuk beberapa orang sambil terus menulis buku. Agar bisa lebih konsentrasi dalam menekuni pekerjaannya, dia tak mau repot-repot memasak dan mencuci pakaian sendiri. Semua diserahkan kepada tetangganya dan dia tinggal memberikan uang lelah kepada tetangganya itu.

Kini dia sedang menunggu bukunya “Terhempas Gelombang Pasang” yang berisi memori pribadinya selama dalam penahanan yang diterbitkan oleh ISAI dan “Mereka yang Tersisih” (kumpulan 18 cerpen) yang diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Yayasan Lontar. Dengan pengeluaran bulanan sekitar Rp 500.000,- Soedjinah yang beragama Islam dan kini berusia 72 tahun ini masih bisa menyisakan sedikit uang untuk membantu saudara-saudaranya di Sala yang mengalami kesulitan mengarungi sisa hidupnya karena identitas mantan tapol dan stigmatisasi pada KTPnya. Karena sikapnya yang suka menjalin keakraban dengan tetangga, sejak bebas hingga kini Soedjinah tak pernah mengalami kesulitan dalam mensosialisasikan diri di lingkungan masyarakatnya. Demikian juga bila dia sekali waktu pulang ke Sala, kota kelahirannya. Para tetangga menyambutnya dengan baik , lebih-lebih karena orangtuanya dulu dikenal sebagai seorang guru mengaji.

* * *

Sumber: http://annabelle.aumars.perso.sfr.fr/Soedjinah, pimpinan Gerwani dan pendukung Bung Karno.htm

Awal Perang Saudara Antar Para Republiken

Awal Perang Saudara Antar Para Republiken
Jumat, 30 November 2007
Julius Pour

"Sabtu malam 30 November 1957. Aku sedang berjalan keluar, meninggalkan malam dana Perguruan Tjikini, tempat kedua anakku, Guntur dan Mega, bersekolah," kenang Presiden Soekarno.

Sekitar pukul 20.55, ketika sedang menuju ke mobilnya, terdengar ledakan. Semula dikira bunyi petasan, tetapi tiba-tiba disusul ledakan-ledakan lain. "Anak-anak berteriak sambil lari ketakutan memasuki gedung sekolah. Tamu-tamu berguling ke bawah kendaraan atau tercebur ke selokan. Puluhan orang terkena ledakan, ratusan terbanting ke tanah. Sebuah serangan pengecut yang berusaha membunuh Soekarno, Presiden Republik Indonesia." Percobaan pembunuhan dengan melempar granat itu kemudian disebut Peristiwa Tjikini. Aksi percobaan pembunuhan pertama kepada Bung Karno.

"Saya sedang mengantar anak ke RSUP di Salemba, maka tugas mengawal dipimpin Sudijo," kata Mangil Martowidjojo, Komandan Pengawal Pribadi Presiden (PPP), tim Polri pengawal Bung Karno sejak Proklamasi. Pada masa itu, tugas pengamanan Presiden ditangani dua tim. PPP mengawal Bung Karno dan keluarga, dibantu Polisi Militer mengamankan lingkungan Istana.

Mangil langsung ke tempat kejadian setelah dijemput sopirnya yang mengatakan, "Bapak digranat". Di lokasi, Sudijo menambahkan, "Bapak belum bersedia pulang. Pak Mangil saja yang mengajak…"

Bung Karno yang disembunyikan para pengawalnya di seberang jalan langsung menanyakan situasi, "Mangil, apa sudah datang bantuan?"

"Sudah Pak," jawab Mangil mantap meski dia sadar sedang berbohong. Pengalamannya mengajarkan, "Bapak harus selalu diyakinkan, Beliau tidak senang tetek-bengek penjelasan teknis…"

Bung Karno melanjutkan, "Bagaimana kondisi anak-anak?"

"Selamat. Semuanya sudah diantar ke Istana…"

Mangil mengungkapkan, "Bung Karno kemudian berdiri, memegangi pundak saya, berjalan menuju mobil cadangan yang sudah siap di Jalan Tjikini, langsung diantar ke Istana. Sewaktu sampai di Merdeka Timur, sebuah sedan dengan kecepatan tinggi ikut menyusul. Saya tidak mau ambil risiko. Segera saya perintahkan, hentikan mobil itu. Kalau nekat, tembak."

Senapan dikeluarkan, lampu sorot jip pengawal di belakang mobil Presiden diarahkan ke sasaran. "Ternyata Kolonel CPM Sabur, ajudan Presiden. Sambil melambai-lambaikan tangan dia berusaha menyusul. Perintah tembak saya batalkan…"

Secara kebetulan, malam itu ada siaran wayang kulit semalam suntuk dari RRI Pusat. Dengan demikian, berita Presiden lolos dari percobaan pembunuhan bisa dipancarkan lewat breaking news. Wakil Perdana Menteri Leimena kemudian menyatakan, pemerintah telah memutuskan Munas dan Munap (Musyawarah Nasional Pembangunan) dibekukan.

Senin (2/12) siang, Mayor Dachyar, Komandan Komando Militer Kota Besar Djakarta Raja (KMKBDR) mengumumkan, komplotan teroris yang mencoba membunuh Bung Karno sudah berhasil diringkus. Disebutkan, dalang peristiwa itu Kolonel Zulkifli Lubis, terakhir Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) tetapi sudah sejak beberapa waktu menghilang.

Zulkifli Lubis

Dengan menyebut nama Zulkifli Lubis, Peristiwa Tjikini langsung terkait perbedaan sikap dalam rencana membangun Angkatan Darat dari KSAD Kolonel AH Nasution dengan dukungan Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Kolonel TB Simatupang. Kelompok Bambang Supeno-Zulkifli Lubis curiga, rencana itu dalih menyingkirkan para perwira eks PETA hasil didikan Jepang. Sebab, dimulai dengan menutup lembaga pendidikan militer Chandradimuka di Bandung yang dipimpin para perwira TNI eks PETA.

Jumat pagi, 17 Oktober 1952, Nasution menggerakkan massa demonstran, dikawal 2 tank, 4 panser, dan 4 meriam ke depan Istana Merdeka. Mereka menuntut pembubaran parlemen, "…karena didominasi orang-orang federal yang tidak ikut berjuang". Meski digertak, Bung Karno ternyata menolak dengan alasan "Saya tidak mau jadi diktaktor."

Nasution dilengserkan dari dinas militer, selanjutnya Kolonel TB Simatupang dipaksa pensiun dini karena jabatan KSAP dihapus. Sebagai langkah kompromi, tokoh netral Kolonel Bambang Sugeng dijadikan KSAD dan Kolonel Zulkifli Lubis, penentang Nasution, sebagai Wakil KSAD.

Untuk menyelesaikan beda pendapat antarpimpinan militer, Februari 1955 diselenggarakan musyawarah di Yogyakarta, dihadiri 270 perwira AD se-Indonesia, termasuk Nasution yang datang dengan pakaian sipil. Bambang Sugeng kemudian meletakkan jabatan karena merasa tidak mampu melaksanakan Piagam Yogya, antara lain menyebutkan, Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Dwi Tunggal, sedangkan Bung Hatta sudah mundur dari jabatan Wapres."

Sebagai pengganti Bambang Sugeng ditetapkan Kolonel Bambang Utojo yang sudah pensiun, tanpa konsultasi dengan Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Akibatnya, dalam acara pelantikan, Wakil KSAD Zulkilfi Lubis tidak hadir, begitu juga pejabat teras MBAD dan korps musik AD. Bambang Utojo hanya bertahan sebentar, kemudian mundur dan kembalilah Nasution sebagai KSAD meski sudah tiga tahun berada di luar dinas militer dan ikut pemilu serta memimpin partai politik.

Pada sisi lain, akibat pengelolaan dana terlalu sentralistis, sejumlah panglima daerah bertekad melakukan pembangunan secara mandiri. Akhir Desember 1956, terbentuk Dewan Gajah di Medan, disusul Dewan Banteng di Padang, Dewan Garuda di Palembang, dan Dewan Manguni di Manado.

Dalam situasi serba tak menentu, tanggal 2 Maret 1957 di Makassar, Panglima TT IV Letkol Ventje Sumual membentuk Permesta, singkatan dari Perjuangan Semesta. Sepekan kemudian, para alumni Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) mengeluarkan petisi, mendesak pemerintah menyelenggarakan musyawarah nasional menampung tuntutan daerah.

"Nasution menolak. Sepuluh orang perwira yang melawan langsung dibebastugaskan, termasuk saya," kata Mayor (Purn) Alwin Nurdin. Tetapi, Djuanda, Perdana Menteri sekaligus Menteri Pertahanan, justru melakukan rekonsiliasi.

Musyawarah nasional

Tanggal 10 sampai 14 Maret 1957 Djuanda membuka Munas (Musyawarah Nasional) untuk merujukkan kembali Bung Karno dan Bung Hatta. Disusul Munap yang menerima semua tuntutan otonomi daerah berikut konsep pembangunan semesta.

Khusus di bidang militer, tercapai kesepakatan pemberian amnesti terhadap kolonel pembangkang yang diikuti menyebar angket menanyakan apakah mereka ingin terus dalam dinas militer atau keluar? Hasil angket akan diumumkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi tanggal 3 Desember 1957. Sayang, tiga hari sebelum pengumuman, meletus Peristiwa Tjikini.

"…seperti sudah dipersiapkan, hasil Munas dan Munap segera dibekukan dan dalam waktu 24 jam KMKBDR menyatakan telah bisa meringkus para penggranat Bung Karno, diikuti aksi kampanye, lebih tepatnya hetze sengit disertai intimidasi, menuduh Lubis dibantu para kolonel pembangkang dalang Peristiwa Tjikini," kata Alwin Nurdin melukiskan situasinya.

Apakah benar Lubis dalang aksi penggranatan?

"Untuk apa saya harus melakukan? Posisi kami sudah di atas angin karena usul desentralisasi pembangunan telah disetujui dalam Munas dan Munap, sementara amnesti umum akan segera diberikan. Bagaimana mungkin saya membakar rumah sendiri, sedangkan pintu gerbang perdamaian di depan mata?" jawab Lubis kepada tim pencari fakta (facts finding). Dia selalu menuntut agar bisa diadili secara terbuka sehingga fitnah terhadap dirinya bisa dijernihkan. Sesuatu yang selalu ditolak Nasution dengan alasan, Peristiwa Tjikini sudah selesai.

Siapa pelakunya?

Pengadilan yang berlangsung dalam SOB (negara dalam keadaan perang) menyatakan para teroris pengikut DI asal Pulau Bima, Nusa Tenggara Barat, yang telah menyusup ke Jakarta. Bung Karno mengakui, "Aku selalu ingat kepada sembilan anak dan seorang perempuan hamil yang jatuh tersungkur tak bernyawa di dekatku. Oleh karena itu, tahun 1963 aku membubuhkan tanda tangan menghukum mati Kartosuwirjo. Bukan untuk kepuasan, tetapi demi menegakkan keadilan..."

Menurut Ventje Sumual, "…harus dibedakan antara pihak yang melempar granat dan mereka yang memanfaatkan. Tuduhan memang langsung diarahkan kepada kami. Siapa pun, terlebih Bung Karno yang sedang emosi, pasti setuju kalau kami dituduh. Sebab kami kebetulan memang berseberangan dengan mereka yang sedang memegang posisi puncak militer dan politik."

Epilog Peristiwa Tjikini mendorong situasi memburuk. Dituduh terlibat, para pembangkang, awal Januari 1958, berkumpul di Sungai Dareh, Sumatera Barat, menuntut pembentukan kabinet yang berwibawa untuk menyelesaikan kemelut hubungan antara pusat dan daerah. Menurut Kolonel Maludin Simbolon, "…Berwibawa artinya lebih dipercaya daerah, yaitu Bung Hatta dan Sultan HB IX." Tuntutan ini dibiarkan, keluar ultimatum 10 Februari 1958, bentuk segera Kabinet Hatta-Sultan Yogya. Ultimatum ditolak, maka lima hari kemudian, Letkol Achmad Husein memproklamasikam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

"Peristiwa Tjikini merupakan turning point sejarah perjuangan Indonesia," kata Mayjen (Purn) Soekotjo, Wakil Ketua Legiun Veteran RI. "Sesama TNI harus bertempur, sama-sama memakai Merah Putih, sama-sama Republiken, sama-sama bertekad untuk mempertahankan Republik Proklamasi…"

Lantas, siapa memanfaatkan dan memetik keuntungan?

Alwin Nurdin melukiskan, "Bukan PRRI dan juga bukan Nasution. Justru PKI karena mereka bisa mengadu domba kami hingga saling bertempur dan berperang antarsesama pejuang."

Julius Pour, Wartawan dan juga Penulis Sejarah

Blog dr: http://202.146.5.33/kompas-cetak/0711/30/nasional/4036281.htm

Supersemar Versus SP 13 Maret

Wacana
11 Maret 2009
Supersemar Versus SP 13 Maret

* Oleh Slamet Sutrisno

PENAFSIRAN Supersemar adalah ”penyerahan atau pengalihan kekuasaan” diyakini oleh pembawa naskah itu sendiri, Jenderal Amirmachmud cs. ”Lho , ini kan penyerahan kekuasaan” demikian Amirmachmud dalam perjalanan mobil sepulang dari istana Bogor membawa Supersemar itu. Ketika Sudharmono dan Moerdiono kesulitan mencari dasar hukum bagi pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), mereka bergembira setelah tahu keluar Supersemar.

Padahal, Presiden Soekarno menegaskan Supersemar itu hanya untuk bidang teknis keamanan, bukan politis keamanaan. Dan kerancuan pun segera menggelombang apalagi setelah Supersemar di-Tap MPRS-kan. Pertama, sudah jelas yang paling mengerti isi sebuah perintah tentu saja ya subjek pemberi perintah itu sendiri. Adalah janggal jika orang lain, bahkan yang diberi perintah sebagai figur terpercaya oleh yang memerintah, berpretensi lebih mengerti isi perintah.

Kedua, pada umumnya ahli hukum Tata Negara, terutama Dahlan Ranuwihardja SH, anggota MPRS, sangat heran kenapa executive order diubah begitu saja sebagai Tap MPR(S) tanpa bertanya dulu kepada pemberi perintah. ”Jadi enggak bisa dong MPR (S) melakukan sesuatu yang bukan wewenangnya.

Bukan hanya keliru memahami, Jenderal Soeharto sebagai pengemban Supersemar sengaja menyalahgunakan sebagai mandat politik dengan membubarkan PKI betapapun langkah itu secara kondisional adalah tepat. Karena itu, Presiden Soekarno terkejut dan marah dengan langkah Soeharto. Presiden lantas mengeluarkan SP 13 Maret 1966, yang tidak banyak diketahui umum dan generasi baru berhubung Soeharto dan rezim sengaja menyembunyikannya. Autobiografi Soeharto pun tidak pernah secuil pun mengatakannya.

SP 13 Maret itu dibawa oleh Waperdam II Leimena dan Brigjen KKO Hartono kepada Soeharto yang sesudah membacanya, Soeharto menyatakan pembubaran PKI itu adalah tanggung jawabnya sendiri. SP 13 Maret terdiri atas tiga hal yakni:a) mengingatkan bahwa SP 11 Maret itu sifatnya teknis/administratif, tidak politik, semata-mata adalah perintah mengenai tugas keamanan bagi rakyat dan pemerintah, untuk keamanan dan kewibawaan Presiden/Pangti/Mandataris MPRS; b) bahwa Jenderal Soeharto tidak diperkenankan melakukan tindakan-tindakan yag melampaui bidang politik, sebab bidang politik adalah wewenang langsung presiden, pembubaran suatu partai politik adalah hak presiden semata-mata; c) Jenderal Soeharto diminta datang menghadap presiden di Istana untuk memberikan laporannya (D & R, 12 September 1998).
Menghendaki Kekuasaan Terlebih dulu dapat dirunut betapa Soeharto sesungguhnya berkepentingan benar terhadap keluarnya Supersemar; atau dengan kata lain mengehendaki sesuatu kekuasaan sebagaimana kesaksian Jenderal Kemal Idris, Jenderal Mursjid, Jenderal Soemitro dan Ketua RT tempat kediaman Soeharto sekaligus kolega baiknya, yakni Mashuri SH, yang kelak diberi jabatan menteri dan terakhir Wakil Ketua MPR/DPR.

Jenderal Soeharto mengatakan, pada minggu kedua sebelum 11 Maret, rapat Staf Umum AD yang dipimpin Jendeal Soeharto memutuskan untuk memisahkan Bung Karno dari ”Durna-Durna”-nya dan para Durna akan ditangkap oleh RPKAD. Itulah yang kemudian mewujud dalam fenomena ”pasukan tak dikenal”, mengepung istana pagi hari saat Sidang Kabinet 11 Maret 1966, yang membuat Bung Karno diterbangkan ke Bogor.

Ketika kejadian itu dilaporkan kepada Soeharto, menurut Kemal Idris, maka Soeharto menulis pesan kepada Bung Karno yang dibawa Amirmachmud cs ke Istana Bogor. Isi pesannya, ”Saya tidak akan bertanggung jawab kalau saya tidak diberi kekuasaan untuk mengatasi keadaan ini.” (D&R, 12 September 1998).

Adapun Jenderal Mursyid, Asisten Menpangad Jenderal A Yani lebih tegas menyatakan Soekarno itu dikudeta dalam konteks bertemunya kepentingan pihak luar --Amerika cs-- dan pihak dalam negeri. Mursjid berbeda pendapat dengan analisis kudeta itu berjalan ”merangkak-rangkak” dengan tonggak-tonggak pokok: 1 Oktober atau G-30-S/PKI; 11 Maret 1966 dan penolakan pidato Presiden Nawaksara/Pelengkap Nawaksara.

”Saya tetap berpegang bahwa 1 Oktober kudetanya. Formalnya, terjadi pada tanggal 11 Maret dengan Supersemar, yang dikoreksi BK pada 13 Maret. Dengan kata lain, tanggal 1 Oktober merupakan langkah-langkah ke arah 11 Maret itu. Itulah aibnya Soeharto, ia ambil kekuasaan dengan paksa”, (Tajuk, 1-17 September 1998). Namun demikian ia tidak melihat Soeharto ”dalang” kejatuhan Bung Karno, bukan orang pertama dan orang tunggal.

Dalam pada itu, Mashuri SH menyatakan bahwa kejatuhan Bung Karno itu bukan creeping coup d'etat atau ”kudeta merangkak”, melainkan memang kudeta. ”Itu jelas kudeta, tidak pakai merangkak-rangkak. Jadi orang mengatakan sidang Nawaksara di sana itu dihabisi Soekarno, itu tanggal 11 Maret sudah terjadi kudeta. Jadi Soeharto mengepung istana dan Bung Karno terbang ke Bogor itu sudah kudeta. Begini saya pernah bilang pada Ruslan (Abdulgani?). Sidang MPRS Nawaksara itu hanya sebagai ijab kabul, tapi sebelum menyampaikan harus menghadap penghulu dulu, penghulunya ya, Sebelas Maret itu,” (Gema Reformasi, September 1998).
Rekonstruksi Tampaklah bahwa SP 11 Maret, sekaligus SP 13 Maret sebagai satu kesatuan perintah presiden membutuhkan rekonstruksi. Bukan hanya rekonstruksi, malahan suatu dekonstruksi pun perlu mengingat begitu besarnya kontroversi-- di antaranya yang pokok peranan Jenderal Soeharto pada khususnya dan Angkatan Darat pada umumnya.

Ben Anderson, ahli ilmu politik Cornell University yang dimusuhi rezim Orde Baru misalnya menyebutkan Supersemar cuma langkah terakhir dari serangkaian strategi. Adapun langkah awalnya menurut dia adalah di sekitar 1964 saat ”geng Soeharto” membuka jalan rahasia langsung ke Malaysia, Inggris dan Amerika di luar jalur Nasution dan Yani --saat itu Soeharto adalah panglima dengan tugas konfrontasi terhadap Malaysia.

Saat-saat itulah Benny Moerdani dan Ali Moertopo --yang disebutnya anggota ”geng” tadi justru membuka jalur sendiri ke Washington dengan memakai orang-orang eks-PRRI, Des Alwi cs. ”Ini ada buktinya. Data-datanya saya ada di Amerika. Nah, kalau mereka tidak berambisi untuk posisi paling atas, untuk apa itu. Itu jelas semacam pengkhianatan terhadap politik yang ada waktu itu,” demikian Anderson, yang Cornell Paper-nya untuk G-30-S/PKI berseberangan dengan Buku Putih pemerintah Orde Baru (Detak, 9-15 Maret 1999).

Karena itu bisa dimengerti adanya suatu analisis, betapapun Soeharto dan Nasution mempunyai pertentangan khususnya ketika selaku Pangdam Diponegoro Soeharto dicopot atas kasus dagang dan penyelundupan; sewaktu pasca-G-30-S/PKI mereka dipertemukan oleh adanya musuh bersama, yakni: Soekarno dan para pendukung setianya semisal Soebandrio dan Chaerul Saleh, serta PKI yang saat itu dikambinghitamkan sebagai satu-satunya dalang dan penggerak G-30-S. (Detak, 2-8 Maret 1999).

Dalam hubungannnya dengan hilang atau dihilangkannya SP Maret itu sendiri, boleh jadi versi yang paling mendekati kebenaran ialah kesengajaan Soeharto dan ”geng”nya untuk kurang beritikad baik. Pertama, Soeharto tidak melaksanakan dengan baik perintah untuk :menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan presiden serta melaksanakan dengan pasti segala ajaran pemimpin besar revolusi; yang secara eksplisit diperintahkan dalam SP 11 Maret.

Kedua, kesaksian Soebandrio membenarkan bahwa dalam naskah asli SP 11 Maret sebenarnya ada tertera point:setelah keadaan terkendali Supersemar diserahkan kembali kepada Presiden Soekarno. Hal ini dikuatkan oleh Kemal Idris, ”Itu biasanya kalau ada surat perintah untuk melaksanakan tugas dan kalau sudah selesai ya harus lapor. Kewenangannya ya harus ditarik. Tapi itu tidak dilaksanakan oleh Soeharto, seolah-olah surat itu hilang dan dia mempergunakan itu untuk mendapatkan kekuasaannya sendiri.” (Detak, 2-8 Maret 1999). Tak mengherankan bagi Soeharto dan kelompoknya, SP 13 Maret perlu makin disembunyikan-lebih dari SP 11 Maret. (35)

–– Drs Slamet Sutrisno MSi, dosen Sejarah Pergerakan Nasional di Fakultas Filsafat UGM

Blog Dr : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/03/11/55437/Supersemar.Versus.SP.13.Maret