Selasa, 30 Maret 2010

“Aku pendukung Bung Karno sampai mati”

“Aku pendukung Bung Karno sampai mati”
WASIAT SOEDJINAH

Menyusul tulisan yang berisi rekaman wawancara HD. Haryo Sasongko dengan Soedjinah (harap baca In memoriam : Soedjinah, pimpinan Gerwani dan pendukung Bung Karno) maka berikut di bawah ini disajikan tambahannya untuk melengkapi tulisan tersebut. Tambahan ini, yang berjudul “Wasiat Soedjinah”, mengandung pesan atau keinginan Soedjinah untuk mengumpulkan dan menerbitkan dokumen-dokumen yang ditulisnya di penjara dengan pensil.

Untuk buku yang berisi kumpulan dokumen-dokumen yang ditulisnya dalam keadaan sulit dan secara sembunyi-sembunyi itu, Soedjinah memilih judul “AKU PENDUKUNG BUNG KARNO SAMPAI MATI”. Dokumen-dokumen yang ditulisnya itu telah diserahkan secara sembunyi-sembunyi kepada seorang wartawan yang berhasil berhubungan dengan Soedjinah di penjara dengan menyamar sebagai kuli bangunan.

Dalam rangka usaha untuk bisa merealisasikan wasiat Soedjinah ini HD Haryo Sasongko menghimbau wartawan yang pernah mengadakan kontak dengan Soedjinah supaya menghubunginya. Isi wasiat Soedjinah dan himbauan kepada wartawan tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut :

“Soedjinah, seorang pejuang wanita yang pantang menyerah untuk tetap memberikan dukungannya kepada Bung Karno setelah peristiwa Kudeta berdarah 1965 dan Bung Karno jatuh dari kedudukannya sebagai Presiden RI, telah wafat pada 6 September 2007 di Panti Jompo "Waluyo Sejati", Kramat Jakarta Pusat.

Rekaman suara Soedjinah dalam wawancara dengan saya pada tahun 2000 (baca kembali Soedjinah in Memoriam oleh Umar Said) telah saya serahkan kepada Lontar Foundation. Di luar wawancara yang terekam, ada pembicaraan lisan antara saya dengan Soedjinah. Intinya, dia ingin agar dokumentasi berupa tulisan-tulisan tangan yang dia selundupkan dari kamar tahanan dan disimpan oleh seorang wartawan (tidak dapat saya sebut namanya di sini) dapat dihimpun kembali secara lengkap.

Dia ingin dokumen itu dibukukan dan dia mengusulkan berjudul AKU PENDUKUNG BUNG KARNO SAMPAI MATI. Dokumen itu ditulis dengan pensil di atas kertas kecil sambil bersembunyi di WC kamar tahanannya. Kertas kecil-kecil itu sengaja disobek-sobek, ada yang diremas-remas seperti sampah, agar tidak mencurigakan di mata petugas penjara, dan wartawan tersebut berhasil menemui Soedjinah karena menyamar sebagai kuli bangunan yang harus memperbaiki bangunan di penjara tempat Soedjinah ditahan (ada beberapa naskah yang terpaksa dia kunyah dan ditelan karena takut kepergok petugas penjara yang tiba-tiba lewat).

Dari wawancara saya dengan seorang mantan aktivis Wanita Marhaen, dia menyebutkan kenal baik dengan Soedjinah dan mereka berdua ditambah satu wanita lagi (dari golongan agama) selalu di dekat Bung Karno dan bertugas mencicipi makanan apabila Bung Karno akan mengunjungi suatu daerah.

Sampai kini saya tidak berhasil menghubungi wartawan yang dimaksud Soedjinah. Mohon apabila wartawan yang dimaksud membaca surat ini, kiranya dapat menghubungi saya melalui email. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih dan saya bersedia untuk menjaga kerahasiaan saudara. Saya merasa berdosa belum melaksanakan wasiat almarhumah. Selamat jalan Soedjinah, maafkan saya.

HD. Haryo Sasongko


In memoriam :
Soedjinah, pimpinan Gerwani
dan pendukung Bung Karno

Berikut di bawah adalah sekelumit dari riwayat hidup Soedjinah, seorang wanita Indonesia yang dalam hidupnya dari sejak muda belia sudah ikut dalam perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia, yang kemudian menjadi pimpinan organisasi wanita yang terbesar di Indonesia, Gerwani. Soedjinah dipenjara selama belasan tahun oleh rezim militer Orde Baru setelah ditangkap dalam tahun 1967 karena ia aktif melakukan kegiatan-kegiatan bersama sejumlah kawan-kawannya dalam gerakan PKPS (Pendukung Komando Presiden Sukarno).

Soedjinah, yang pernah beberapa tahun mewakili gerakan wanita Indonesia dalam Gabungan Wanita Demokratik Sedunia (GWDS) dan ikut dalam berbagai konferensi internasional, telah mengalami bermacam-macam siksaan selama dalam tahanan militer, seperti halnya banyak wanita lainnya yang pernah ditahan atau dipenjarakan selama bertahun-tahun oleh rezim Suharto dkk.

Dengan menyimak sejenak riwayat hidupnya, yang berupa wawancara dengan HD Haryo Sasongko (editor buku "Terempas Gelombang Pasang" karya Soedjinah, terbitan ISAI) maka kita semua ingat kembali kepada kekejaman dan kesewenang-wenangan rezim Suharto terhadap orang-orang kiri, termasuk anggota dan simpatisan PKI dan pendukung Presiden Sukarno.

Riwayat hidup Soedjinah, yang menggambarkan bagaimana ia telah berjuang untuk bangsa, dan khususnya untuk kebangkitan dan kebebasan wanita Indonesia, perlu diketahui oleh banyak orang, terutama generasi muda dewasa ini dan di masa-masa yang akan datang.. Selain itu, penyajian secara singkat kisah hiduppnya ini juga untuk mengingat kembali betapa besar kekejaman rezim militer Suharto dkk terhadap ratusan ribu -- bahkan jutaan -- orang-orang yang tidak bersalah apa-apa.

Soedjinah, yang di harituanya – sampai wafatnya -- terpaksa tinggal di sebuah rumah jompo di Jakarta, hanyalah seorang dari begitu banyak kader-kader, aktifis, dan pimpinan Gerwani, yang telah dipersekusi di seluruh Indonesia. Sekarang ini masih banyak di antara mereka yang tetap terus mengalami berbagai penderitaan sebagai eks-tapol.

Mengingat itu semualah maka berikut ini disajikan wawancara dengan Soedjinah, yang dilakukan oleh HD Haryo Sasongko dalam bulan Desember 2000, yang selengkapnya adalah sebagai berikut.

Umar Said

* * * *

Tanggal 6 September 2007, SOEDJINAH telah meninggal dunia. Untuk mengenang wafatnya tokoh wanita yang pernah terlibat dalam perjuangan fisik di masa revolusi kemerdekaan dan perjuangan politik di masa prakemerdekaan, namun nasib dirinya sendiri tidak merdeka sampai di akhir hidupnya, berikut dikutip kembali sinopsis wawancara dengan SOEDJINAH, diangkat dari kumpulan dokumen tentang Korban Tragedi '65. Karena wawancara dilakukan pada tahun 2000, jadi tidak mencakup kisah SOEDJINAH ketika masuk ke rumah Jompo. Semoga ada manfaatnya. (HD. Haryo Sasongko)

« Menyaksikan dan merasakan hidup terjajah, Soedjinah terpanggil untuk ikut bergerilya membantu Tentara Pelajar dan laskar-laskar lainnya yang berniat mengusir penjajah. Karena tak tahan melihat darah, dia memilih sebagai kurir. Selama Perang Kemerdekaan dia tak pernah absen, baik dalam menghadapi Clash I atau Clash II. Usai penyerahan kedaulatan barulah dia kembali ke sekolah, kuliah dan kemudian aktif di Pemuda Rakyat serta Gerwani. Dari sana dia kemudian melanglang buana, menghadiri berbagai forum pertemuan internasional. Namun tragedi 1965 membawanya masuk penjara dan disekap di sana selama 16 tahun. Toh, di balik terali besi itu, dia terus melanjutkan perjuangannya. Dia pun menulis pengalaman, puisi dan cerita pendek di kertas yang dicurinya dari petugas penjara. Kini di masa tuanya, tanpa suami tanpa anak, Soedjinah memanfaatkan kemampuannya berbahasa Inggris, Belanda dan Jerman dengan menjadi penerjemah dan memberikan kursus di LSM maupun di rumah kontrakannya.

Ikut Bergerilya dan Melanglang Buana

Sebagai anak pertama dari seorang Abdi Dalem Kraton Kasunanan Sala yang lahir pada tahun 1929 ini, Soedjinah mendapat kesempatan mengecap pendidikan HIS selama tujuh tahun sampai tamat yang kala itu sebenarnya hanya terbuka bagi keluarga orang-orang Belanda atau keluarga bangsawan saja. Hal itu terjadi karena Soedjinah “didekati” oleh seorang putera Mangkubumi. Karena itu pula Soedjinah sudah menguasai bahasa Belanda sejak masa kanak-kanak. Kemudian dia melanjutkan pendidikan di MULO, namun kali ini tidak sampai tamat karena baru menginjak tahun pertama Jepang datang. Sehingga Soedjinah harus melanjutkan pendidikan di sekolah Jepang selama tiga tahun dan selesai di masa penjajahan Jepang.

Ketika itu Soedjinah mulai merasakan perlakuan penjajah Belanda maupun Jepang yang sama-sama merendahkan bangsanya. Mula-mula dia harus memberi hormat terhadap orang-orang Belanda dan kemudian terhadap orang-orang Jepang. Sementara orang-orang pribumi tetap menjadi warga kelas tiga pada strata yang paling bawah. Lebih-lebih Soedjinah sangat sakit hati karena ketika itu – dengan alasan untuk biaya perang – Jepang menyita harta benda milik rakyat pribumi seperti emas atau berlian sambil melakukan pemerasan serta pelecehan seksual terhadap kaum wanita.

Karena itu sejak Proklamasi Kemerdekaan Soedjinah menyambut gembira dengan ikut serta di badan-badan perjuangan. Pada masa perang kemerdekaan berkecamuk, Soedjinah pada tahun 1946-47 (Clash I) masuk dalam Barisan Penolong sebagai kurir dan membantu logistik dapur umum di tengah medan pertempuran yang terjadi antara lain di daerah Ampel dekat Salatiga hingga Tengaran dekat Semarang. Dia bergaul akrab dengan para laskar pejuang muda yang kebanyakan dari TP (Tentara Pelajar), antara lain dipimpin oleh Achmadi yang di kemudian hari menjadi seorang menteri pada masa pemerintahan Bung Karno.

Pada Clash II yang berlangsung hingga tahun 1949, Soedjinah juga ikut aktif bergerilya bersama tentara dan TP sampai di Bekonang dan tempat tempat lain. Salah seorang pimpinannya yang masih diingat Soedjinah ialah Soebroto yang di kemudian hari juga menjadi menteri. Ketika itu Soedjinah berperan sebagai kurir antar pasukan gerilya yang berada di desa dan di perkotaan. Siang malam harus jalan kaki menyusup di pedesaan untuk menghindari patroli Belanda.

Tahun 1950 ketika terjadi cease fire, Soedjinah kembali ke kota (Sala) untuk melanjutkan sekolah sampai dapat menyelesaikan SMAnya di Yogyakarta pada tahun 1952. Ketika itu Soedjinah pernah mendapatkan beasiswa untuk 5 tahun. Dia manfaatkan beasiswa itu untuk masuk ke Universitas Gajah Mada di fakultas sosial politik yang sayangnya hanya sampai tiga tahun saja karena beasiswa sudah tidak ada lagi. Selanjutnya Soedjinah aktif di Pesindo yang di kemudian hari menjadi Pemuda Rakyat dan juga di Gerwis yang di kemudian hari menjelma menjadi Gerwani. Bahkan ketika Gerwis menyelenggarakan Konferensi Nasionalnya yang pertama di Surabaya pada tahun 1951, Soedjinah sudah ikut serta di mana ketika itu juga ada SK Trimurti sebagai salah seorang ketuanya. Pada masa itu di samping Gerwis juga sudah ada organisasi wanita Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) yang sudah berdiri sejak 1946 dan Aisyiyah dari Masyumi. Sejak Konferensi Nasional yang pertama itu, Gerwis sudah menjadi anggota Gabungan Wanita Demokratis Sedunia.

Dalam Kongres Gerwis di Jakarta pada 1954, barulah namanya berubah menjadi Gerwani dan sekretariatnya pun pindah dari Surabaya ke Jakarta dengan Ketua Umum Umi Sardjono. Sejak itu pula Gerwani mengembangkan sayapnya dan jumlah keanggotaannya terus meningkat di seluruh Indonesia. Soedjinah semakin aktif di organisasi ini. Aksi-aksi menentang kenaikan harga bahan pokok, pemerkosaan dan pelecehan seksual menjadi salah satu tema perjuangan Gerwani yang banyak menarik simpati masyarakat wanita, sehingga sebelum pecahnya tragedi 1965, Gerwani merupakan organisasi wanita terbesar di Indonesia.

Ketika pada tahun 1955 diselenggarakan Festival Pemuda Sedunia di Praha Chekoslovakia, Soedjinah mengikutinya sebagai wakil dari Pemuda Rakyat. Seusai Festival, Soedjinah mendapat tugas dari Gerwani untuk bekerja di Sekretariat Gabungan Wanita Demokratis Sedunia yang berkedudukan di Berlin Timur selama dua setengah tahun. Di sinilah puteri Abdi Dalem Keraton Kasunanan Sala ini medapat banyak pengalaman dalam pergaulan dengan wakil-wakil gerakan wanita berbagai negara, baik dari AS, negara-negara Eropa Barat, Timur, Australia, Afrika maupun sesama negara-negara di Asia. Ketika itu wanita Asia yang mengikuti kegiatan kewanitaan di forum internasional baru dari India, China dan Indonesia. Selama aktif bekerja di Berlin Timur itu, Soedjinah mendapat kesempatan pula untuk memperdalam pengetahuan dalam bahasa Inggris dan Jerman yang dilakukannya seusai tugas kantor.

Dari Gerakan Wanita Demokratis Sedunia itu pula Soedjinah kemudian mendapat tugas “melanglang buana” dengan mengikuti kongres-kongres di Eropa seperti di Prancis, Denmark, Italia, Austria, Finlandia, Yugoslavia, Swedia dan juga Uni Soviet dan China. Tahun 1957 Soedjinah baru kembali ke Indonesia dan banyak membuat karya-karya jurnalistik berupa laporan perjalanan yang pernah dilakukannya di berbagai suratkabar, di samping menjadi penerjemah untuk bahasa Inggris, Belanda dan Jerman bagi tamu-tamu asing yang mengunjungi sekretariat Gerwani. Di samping karya-karya jurnalistik, untuk menambah pendapatan guna menopang biaya hidup (karena dana dari organisasi tidak mungkin mencukupi), Soedjinah juga membuat karya-karya sastra dengan menulis cerita pendek, esai atau puisi dan dimuat di berbagai media.

Tahun 1963 Soedjinah aktif sebagai penerjemah untuk perwakilan kantor berita asing di Indonesia, antara lain Pravda (Uni Soviet) di samping dia sendiri aktif menulis pemberitaan di suratkabar dalam negeri. Karena itu Soedjinah sering juga keluar masuk Istana Merdeka dan bertemu tokoh-tokoh nasional. Ketika diselenggarakan Kongres Buruh Wanita Internasional di Rumania, Soedjinah ditunjuk oleh pimpinan Sobsi sebagai penerjemah untuk delegasi Gerwani Indonesia. Selanjutnya mendapat undangan untuk mengunjungi China.

Haappp ... Lalu Ditangkap

Aktivitasnya di DPP Gerwani di Bagian Penerangan dan Penerjemahan, membuat dia harus sering tidur di kantor. Sampai kemudian, terjadilah Peristiwa Gestapu dan dirinya bersama kawan-kawan lainnya ditangkap dalam suatu penggerebegan yang dilakukan oleh suatu aparat keamanan. Padahal, semua personil Gerwani sedang sibuk menyiapkan suatu acara, sehingga mereka kaget ketika di siang hari tanggal 1 Oktober 1965 mendengar warta berita tentang telah terjadinya peristiwa pembunuhan sejumlah jenderal di Lubang Buaya dan juga tentang telah dibentuknya Dewan Revolusi untuk menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal. Mereka benar-benar tak tahu menahu tentang hal itu. Konsentrasi mereka masih pada rencana penyelenggaraan Kongres Gerwani. Terdorong keingintahuannya, Soedjinah pada hari itu pergi ke kantor CC PKI dan ternyata kantor itu sudah dirusak massa. Soedjinah tak mau kembali ke kantor DPP Gerwani, tetapi juga tak pulang ke rumah tempat tinggalnya. Dia pilih berkeliling menyelinap dari tempat ke tempat untuk mencari informasi lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya telah terjadi.

Dan informasi memang terus mengalir. Penangkapan-penangkapan telah terjadi atas diri para tokoh Gerwani. Rumah yang ditempati Soedjinah dan dalam keadaan sudah dikosongkan, juga kantor DPP Gerwani itu sendiri, ternyata sudah dijarah. Dia menginap dari satu tempat ke lain tempat secara sembunyi-sembunyi di rumah kenalan atau saudara. Tak pernah ada tempat yang diinapinya sampai tiga malam berturut-turut. Pernah juga dia tinggal di rumah mantan Kolonel Suwondo dari Divisi Brawijaya yang dikenalnya sebagai pendukung Bung Karno.

Di tengah situasi politik yang memanas, Soedjinah bersama sejumlah kawannya yang sehaluan dalam mendukung Bung Karno sempat membuat buletin bernama PKPS (Pendukung Komando Presiden Soekarno). Ketika itu Soeharto sudah mencium adanya kegiatan tersebut dan siapa yang terbukti sebagai pendukung Soekarno ditangkap. Selama dua tahunan, Soedjinah terus “bergerilya” sambil menyebarkan buletin ini ke tengah masyarakat. Termasuk ke kedutaan-kedutaan negara asing. Sampai akhirnya dia tertangkap pada 17 Februari 1967 di rumah seorang kawan (yang juga ikut ditangkap) di daerah Pasar Minggu Jakarta Selatan.

Soedjinah dibawa ke suatu tempat – mungkin sebuah sekolah tionghoa di daerah Pintu Besi yang dijadikan semacam posko di Gunung Sahari Jakarta Pusat - oleh petugas keamanan yang menangkapnya dan mulailah dia menyaksikan bahkan mengalami sendiri berbagai bentuk penyiksaan yang amat kejam bahkan banyak tahanan yang sampai mati dalam penyiksaan. Dia sendiri (seperti kawan-kawan lainnya yang sama-sama tertangkap, antara lain Soelami, Soeharti dan Sri Ambar) ditelanjangi dan dipukuli dengan rotan oleh delapan orang tentara berbaju loreng. Seorang di antaranya, Letkol Acep, pimpinan di posko tersebut, konon pernah dididik oleh CIA. Ketika kelihatan Soedjinah hampir mati - dan dia memang pura-pura mati - barulah seorang tentara melerai agar penyiksaan dihentikan sehingga tahanan dapat dibawa ke pengadilan. Padahal di bagian belakang halaman gedung tempat penyiksaan itu sudah digali lubang-lubang untuk mengubur mayat mereka yang mati disiksa.

Soedjinah bersama tiga kawannya yang tidak sampai mati dalam penyiksaan itu akhirnya dibawa ke tempat lain secara berpindah-pindah hingga lima kali (yang masih diingat, Kodam Jayakarta, kantor CPM Guntur), untuk kemudian ditahan di Penjara Wanita Bukitduri guna diajukan ke pengadilan karena terbukti menerbitkan PKPS. Karena dianggap sebagai orang berbahaya, maka Soedjinah dimasukkan ke sel khusus untuk diisolasi. Di Bukitduri inilah Soedjinah bertemu dengan banyak kawan-kawan sesama Gewani, baik tingkat pimpinan, aktivis hingga anggota biasa dan simpatisan.

Di tempat ini pula dia bertemu dengan anak-anak perempuan muda yang ditangkap di Lubang Buaya. Mereka berusia sekitar 14 tahunan sehingga dapat dipastikan bukanlah anggota Gerwani, karena batas minimal usia agar bisa menjadi anggota Gerwani adalah 18 tahun. Dari merekalah Soedjinah mendapat kepastian bahwa tidak ada adegan mencungkil mata apalagi memotong alat kelamin para jenderal. Mereka di sana karena ikut latihan sukarelawan Dwikora dari Pemuda Rakyat dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Merekalah yang ketika ditangkap malah diperkosa oleh aparat yang menangkapnya dan dipaksa untuk mengaku sebagai anggota Gerwani. Di antara mereka yang menghadapi pemaksaan dan penyiksaan itu – ada yang bernama Emi - adalah pelacur muda yang masih buta huruf, dan baru saja bebas dari Penjara Bukitduri sebulan sebelumnya akibat kasus kriminal.

Di sel isolasi khususnya, Soedjinah tidak dapat berkomunikasi dengan siapa pun karena tertutup rapat dan hanya ada lubang kecil untuk bernafas. Sehari hanya diberi kesempatan keluar untuk “angin-angin” selama satu jam dengan penjagaan ketat. Makanan hanya diberikan sekali sehari sekitar dua sendok nasi saja atau jagung rebus sekitar 40-60 butir. Bila ada kesempatan keluar sebentar, dia makan daun apa saja yang ada di dekatnya untuk menutup rasa laparnya Dia diisolasi penuh di tempat ini selama 8 tahun, untuk selanjutnya dipisah di sel isolasi untuk tahanan kriminal. Di sel ini Soedjinah dapat mencuri-curi kesempatan agar bisa berdialog dengan tahanan kriminal dan mendapatkan banyak informasi dari mereka tentang kenapa mereka ditahan dan bagaimana pula perlakuan aparat penguasa terhadap tahanan politik maupun tahanan kriminal selama di dalam selnya.

Sementara itu pemeriksaan atas dirinya masih berjalan terus. Di antara mereka yang melakukan pemeriksaan itu adalah bekas teman sekolah Soedjinah. Ketika kemudian diajukan ke depan pengadilan di Pengadilan Jakarta Pusat pada tahun 1975 (hanya empat orang anggota Gerwani yang ketika itu diajukan ke depan pengadilan, yakni Soedjinah, Soelami, Soeharti dan Sri Ambar karena terbukti menyebarkan buletin PKPS dan nyata-nyata menentang rezim Soeharto-Nasution), seorang hakim yang mengadilinya adalah teman kuliahnya ketika di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Hakim itu – keponakan SK Trimurti – masih mengenal baik siapa Soedjinah - ketika itu menjadi terdakwa II - yang kemudian divonisnya dengan hukuman 18 tahun. Vonis ini tidak berubah ketika Soedjinah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Sesama aktivis Gerwani lainnya yang juga mendekam di Penjara Bukitduri, seperti Tanti Aidit, Ny. Mudigdo dan Umi Sardjono - semua pimpinan Gerwani - yang bertemu dengan Soedjinah tidak ada yang diadili karena tidak ada bukti apa-apa yang dapat diajukan ke depan pengadilan kecuali sebagai aktivis Gerwani itu saja.

Sekitar tahun 1980, dari Penjara Wanita Bukitduri Soedjinah dipindahkan ke Penjara Tangerang. Di tempat inilah dia mendapatkan kesempatan untuk menuliskan semua yang dialaminya selama di Penjara Bukitduri, termasuk pengakuan sesama tahanan – para gadis remaja yang tertangkap di Lubang Buaya dan dipaksa mengaku sebagai anggota Gerwani itu – di kertas-kertas yang dicurinya. Ketika itu, karena mempunyai kemampuan melukis, Soedjinah diberi tugas membuat disain untuk kain bordir yang akan dikerjakan sesama tahanan wanita. Sebagai “disainer” tentu saja dia membutuhkan kertas dan pensil. Dan inilah memang yang sesungguhnya dia cari. Sebagian kecil dari kertas yang disediakan petugas penjara itu dia curi, disembunyikan, yang kemudian dipakai untuk menuliskan catatan-catatan tentang pengalaman sesama tahanan, juga puisi bahkan cerita pendek. Catatan yang ditulis di toilet di dalam selnya ini kemudian diselundupkan lewat seorang wartawan dari Harian Sinar Harapan (kini Suara Pembaruan) yang menyaru sebagai arsitek dan tukang bangunan sehingga bisa sering datang mendekatinya. Tulisan yang dikumpulkan oleh si wartawan itulah yang di kemudian hari diserahkan kembali kepada Soedjinah sesudah dia bebas dan diterbitkan oleh Lontar sebagai buku.

Di penjara Tangerang, Soedjinah memang sedikit mendapatkan kebebasan, tidak dikurung dalam sel lagi. Namun tetap dengan baju biru karena statusnya masih tetap “disamakan” dengan tahanan kriminal.Dia banyak memberikan bimbingan dan pelajaran bahasa Inggris kepada para tahanan kriminal sehingga mereka memanggilnya “mamie” kepada Soedjinah. Tahun 1983 dia baru dibebaskan sehingga dia total menjalani hidup di belakang terali besi selama 16 tahun dari 18 tahun yang harus dijalaninya. Di luar penjara, tidak berarti dia benar-benar bebas merdeka. Di samping masih dikenai wajib lapor diri di Kodim Jakarta Selatan sampai 1997, KTPnya juga diberi stigma “ET” sampai 14 tahun kemudian dan tanda itu baru hilang setelah Soeharto lengser.

Ketika dibebaskan, Soedjinah tinggal di rumah saudaranya – Widodo yang juga pernah mendekam di Pulau Buru – yang berada di Gandul. Menyadari dirinya tak mungkin bisa bekerja di instansi pemerintah berhubung stigmatisasi pada KTPnya itu, maka untuk menghadapi hari-hari depannya Soedjinah hanya bisa mengandalkan kegiatan memberikan les bahasa asing untuk menghidupi dirinya. Dia mengambil sertifikat untuk penerjemah bahasa Belanda di Erasmushuis selanjutnya dia mengambil sertifikat sebagai guru bahasa Inggris di LIA. Dengan modal inilah Soedjinah menapaki hari-hari kebebasannya dalam usia tua sebagai penerjemah dan guru bahasa Inggris di sejumlah LSM, antara lain Kalyana Mitra dan Solidaritas Perempuan serta Yasalira yang dikelola oleh Kartini Syahrir.

Beberapa karya terjemahan telah dihasilkan pula, antara lain dari tulisan Carmel Budiardjo dan sejumlah penulis dari Australia. Kini, Soedjinah yang pernah mendapatkan Award dari Hawaii University dan Hamlet Award karena ketekunannya untuk terus menulis meskipun berada di dalam penjara, tinggal seorang diri di sebuah rumah sewa ukuran kecil yang harus dibayarnya setiap bulan Rp 125.000,- Di rumah itu pula dia memberikan les bahasa Inggris untuk beberapa orang sambil terus menulis buku. Agar bisa lebih konsentrasi dalam menekuni pekerjaannya, dia tak mau repot-repot memasak dan mencuci pakaian sendiri. Semua diserahkan kepada tetangganya dan dia tinggal memberikan uang lelah kepada tetangganya itu.

Kini dia sedang menunggu bukunya “Terhempas Gelombang Pasang” yang berisi memori pribadinya selama dalam penahanan yang diterbitkan oleh ISAI dan “Mereka yang Tersisih” (kumpulan 18 cerpen) yang diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Yayasan Lontar. Dengan pengeluaran bulanan sekitar Rp 500.000,- Soedjinah yang beragama Islam dan kini berusia 72 tahun ini masih bisa menyisakan sedikit uang untuk membantu saudara-saudaranya di Sala yang mengalami kesulitan mengarungi sisa hidupnya karena identitas mantan tapol dan stigmatisasi pada KTPnya. Karena sikapnya yang suka menjalin keakraban dengan tetangga, sejak bebas hingga kini Soedjinah tak pernah mengalami kesulitan dalam mensosialisasikan diri di lingkungan masyarakatnya. Demikian juga bila dia sekali waktu pulang ke Sala, kota kelahirannya. Para tetangga menyambutnya dengan baik , lebih-lebih karena orangtuanya dulu dikenal sebagai seorang guru mengaji.

* * *

Sumber: http://annabelle.aumars.perso.sfr.fr/Soedjinah, pimpinan Gerwani dan pendukung Bung Karno.htm

Awal Perang Saudara Antar Para Republiken

Awal Perang Saudara Antar Para Republiken
Jumat, 30 November 2007
Julius Pour

"Sabtu malam 30 November 1957. Aku sedang berjalan keluar, meninggalkan malam dana Perguruan Tjikini, tempat kedua anakku, Guntur dan Mega, bersekolah," kenang Presiden Soekarno.

Sekitar pukul 20.55, ketika sedang menuju ke mobilnya, terdengar ledakan. Semula dikira bunyi petasan, tetapi tiba-tiba disusul ledakan-ledakan lain. "Anak-anak berteriak sambil lari ketakutan memasuki gedung sekolah. Tamu-tamu berguling ke bawah kendaraan atau tercebur ke selokan. Puluhan orang terkena ledakan, ratusan terbanting ke tanah. Sebuah serangan pengecut yang berusaha membunuh Soekarno, Presiden Republik Indonesia." Percobaan pembunuhan dengan melempar granat itu kemudian disebut Peristiwa Tjikini. Aksi percobaan pembunuhan pertama kepada Bung Karno.

"Saya sedang mengantar anak ke RSUP di Salemba, maka tugas mengawal dipimpin Sudijo," kata Mangil Martowidjojo, Komandan Pengawal Pribadi Presiden (PPP), tim Polri pengawal Bung Karno sejak Proklamasi. Pada masa itu, tugas pengamanan Presiden ditangani dua tim. PPP mengawal Bung Karno dan keluarga, dibantu Polisi Militer mengamankan lingkungan Istana.

Mangil langsung ke tempat kejadian setelah dijemput sopirnya yang mengatakan, "Bapak digranat". Di lokasi, Sudijo menambahkan, "Bapak belum bersedia pulang. Pak Mangil saja yang mengajak…"

Bung Karno yang disembunyikan para pengawalnya di seberang jalan langsung menanyakan situasi, "Mangil, apa sudah datang bantuan?"

"Sudah Pak," jawab Mangil mantap meski dia sadar sedang berbohong. Pengalamannya mengajarkan, "Bapak harus selalu diyakinkan, Beliau tidak senang tetek-bengek penjelasan teknis…"

Bung Karno melanjutkan, "Bagaimana kondisi anak-anak?"

"Selamat. Semuanya sudah diantar ke Istana…"

Mangil mengungkapkan, "Bung Karno kemudian berdiri, memegangi pundak saya, berjalan menuju mobil cadangan yang sudah siap di Jalan Tjikini, langsung diantar ke Istana. Sewaktu sampai di Merdeka Timur, sebuah sedan dengan kecepatan tinggi ikut menyusul. Saya tidak mau ambil risiko. Segera saya perintahkan, hentikan mobil itu. Kalau nekat, tembak."

Senapan dikeluarkan, lampu sorot jip pengawal di belakang mobil Presiden diarahkan ke sasaran. "Ternyata Kolonel CPM Sabur, ajudan Presiden. Sambil melambai-lambaikan tangan dia berusaha menyusul. Perintah tembak saya batalkan…"

Secara kebetulan, malam itu ada siaran wayang kulit semalam suntuk dari RRI Pusat. Dengan demikian, berita Presiden lolos dari percobaan pembunuhan bisa dipancarkan lewat breaking news. Wakil Perdana Menteri Leimena kemudian menyatakan, pemerintah telah memutuskan Munas dan Munap (Musyawarah Nasional Pembangunan) dibekukan.

Senin (2/12) siang, Mayor Dachyar, Komandan Komando Militer Kota Besar Djakarta Raja (KMKBDR) mengumumkan, komplotan teroris yang mencoba membunuh Bung Karno sudah berhasil diringkus. Disebutkan, dalang peristiwa itu Kolonel Zulkifli Lubis, terakhir Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) tetapi sudah sejak beberapa waktu menghilang.

Zulkifli Lubis

Dengan menyebut nama Zulkifli Lubis, Peristiwa Tjikini langsung terkait perbedaan sikap dalam rencana membangun Angkatan Darat dari KSAD Kolonel AH Nasution dengan dukungan Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Kolonel TB Simatupang. Kelompok Bambang Supeno-Zulkifli Lubis curiga, rencana itu dalih menyingkirkan para perwira eks PETA hasil didikan Jepang. Sebab, dimulai dengan menutup lembaga pendidikan militer Chandradimuka di Bandung yang dipimpin para perwira TNI eks PETA.

Jumat pagi, 17 Oktober 1952, Nasution menggerakkan massa demonstran, dikawal 2 tank, 4 panser, dan 4 meriam ke depan Istana Merdeka. Mereka menuntut pembubaran parlemen, "…karena didominasi orang-orang federal yang tidak ikut berjuang". Meski digertak, Bung Karno ternyata menolak dengan alasan "Saya tidak mau jadi diktaktor."

Nasution dilengserkan dari dinas militer, selanjutnya Kolonel TB Simatupang dipaksa pensiun dini karena jabatan KSAP dihapus. Sebagai langkah kompromi, tokoh netral Kolonel Bambang Sugeng dijadikan KSAD dan Kolonel Zulkifli Lubis, penentang Nasution, sebagai Wakil KSAD.

Untuk menyelesaikan beda pendapat antarpimpinan militer, Februari 1955 diselenggarakan musyawarah di Yogyakarta, dihadiri 270 perwira AD se-Indonesia, termasuk Nasution yang datang dengan pakaian sipil. Bambang Sugeng kemudian meletakkan jabatan karena merasa tidak mampu melaksanakan Piagam Yogya, antara lain menyebutkan, Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Dwi Tunggal, sedangkan Bung Hatta sudah mundur dari jabatan Wapres."

Sebagai pengganti Bambang Sugeng ditetapkan Kolonel Bambang Utojo yang sudah pensiun, tanpa konsultasi dengan Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Akibatnya, dalam acara pelantikan, Wakil KSAD Zulkilfi Lubis tidak hadir, begitu juga pejabat teras MBAD dan korps musik AD. Bambang Utojo hanya bertahan sebentar, kemudian mundur dan kembalilah Nasution sebagai KSAD meski sudah tiga tahun berada di luar dinas militer dan ikut pemilu serta memimpin partai politik.

Pada sisi lain, akibat pengelolaan dana terlalu sentralistis, sejumlah panglima daerah bertekad melakukan pembangunan secara mandiri. Akhir Desember 1956, terbentuk Dewan Gajah di Medan, disusul Dewan Banteng di Padang, Dewan Garuda di Palembang, dan Dewan Manguni di Manado.

Dalam situasi serba tak menentu, tanggal 2 Maret 1957 di Makassar, Panglima TT IV Letkol Ventje Sumual membentuk Permesta, singkatan dari Perjuangan Semesta. Sepekan kemudian, para alumni Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) mengeluarkan petisi, mendesak pemerintah menyelenggarakan musyawarah nasional menampung tuntutan daerah.

"Nasution menolak. Sepuluh orang perwira yang melawan langsung dibebastugaskan, termasuk saya," kata Mayor (Purn) Alwin Nurdin. Tetapi, Djuanda, Perdana Menteri sekaligus Menteri Pertahanan, justru melakukan rekonsiliasi.

Musyawarah nasional

Tanggal 10 sampai 14 Maret 1957 Djuanda membuka Munas (Musyawarah Nasional) untuk merujukkan kembali Bung Karno dan Bung Hatta. Disusul Munap yang menerima semua tuntutan otonomi daerah berikut konsep pembangunan semesta.

Khusus di bidang militer, tercapai kesepakatan pemberian amnesti terhadap kolonel pembangkang yang diikuti menyebar angket menanyakan apakah mereka ingin terus dalam dinas militer atau keluar? Hasil angket akan diumumkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi tanggal 3 Desember 1957. Sayang, tiga hari sebelum pengumuman, meletus Peristiwa Tjikini.

"…seperti sudah dipersiapkan, hasil Munas dan Munap segera dibekukan dan dalam waktu 24 jam KMKBDR menyatakan telah bisa meringkus para penggranat Bung Karno, diikuti aksi kampanye, lebih tepatnya hetze sengit disertai intimidasi, menuduh Lubis dibantu para kolonel pembangkang dalang Peristiwa Tjikini," kata Alwin Nurdin melukiskan situasinya.

Apakah benar Lubis dalang aksi penggranatan?

"Untuk apa saya harus melakukan? Posisi kami sudah di atas angin karena usul desentralisasi pembangunan telah disetujui dalam Munas dan Munap, sementara amnesti umum akan segera diberikan. Bagaimana mungkin saya membakar rumah sendiri, sedangkan pintu gerbang perdamaian di depan mata?" jawab Lubis kepada tim pencari fakta (facts finding). Dia selalu menuntut agar bisa diadili secara terbuka sehingga fitnah terhadap dirinya bisa dijernihkan. Sesuatu yang selalu ditolak Nasution dengan alasan, Peristiwa Tjikini sudah selesai.

Siapa pelakunya?

Pengadilan yang berlangsung dalam SOB (negara dalam keadaan perang) menyatakan para teroris pengikut DI asal Pulau Bima, Nusa Tenggara Barat, yang telah menyusup ke Jakarta. Bung Karno mengakui, "Aku selalu ingat kepada sembilan anak dan seorang perempuan hamil yang jatuh tersungkur tak bernyawa di dekatku. Oleh karena itu, tahun 1963 aku membubuhkan tanda tangan menghukum mati Kartosuwirjo. Bukan untuk kepuasan, tetapi demi menegakkan keadilan..."

Menurut Ventje Sumual, "…harus dibedakan antara pihak yang melempar granat dan mereka yang memanfaatkan. Tuduhan memang langsung diarahkan kepada kami. Siapa pun, terlebih Bung Karno yang sedang emosi, pasti setuju kalau kami dituduh. Sebab kami kebetulan memang berseberangan dengan mereka yang sedang memegang posisi puncak militer dan politik."

Epilog Peristiwa Tjikini mendorong situasi memburuk. Dituduh terlibat, para pembangkang, awal Januari 1958, berkumpul di Sungai Dareh, Sumatera Barat, menuntut pembentukan kabinet yang berwibawa untuk menyelesaikan kemelut hubungan antara pusat dan daerah. Menurut Kolonel Maludin Simbolon, "…Berwibawa artinya lebih dipercaya daerah, yaitu Bung Hatta dan Sultan HB IX." Tuntutan ini dibiarkan, keluar ultimatum 10 Februari 1958, bentuk segera Kabinet Hatta-Sultan Yogya. Ultimatum ditolak, maka lima hari kemudian, Letkol Achmad Husein memproklamasikam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

"Peristiwa Tjikini merupakan turning point sejarah perjuangan Indonesia," kata Mayjen (Purn) Soekotjo, Wakil Ketua Legiun Veteran RI. "Sesama TNI harus bertempur, sama-sama memakai Merah Putih, sama-sama Republiken, sama-sama bertekad untuk mempertahankan Republik Proklamasi…"

Lantas, siapa memanfaatkan dan memetik keuntungan?

Alwin Nurdin melukiskan, "Bukan PRRI dan juga bukan Nasution. Justru PKI karena mereka bisa mengadu domba kami hingga saling bertempur dan berperang antarsesama pejuang."

Julius Pour, Wartawan dan juga Penulis Sejarah

Blog dr: http://202.146.5.33/kompas-cetak/0711/30/nasional/4036281.htm

Supersemar Versus SP 13 Maret

Wacana
11 Maret 2009
Supersemar Versus SP 13 Maret

* Oleh Slamet Sutrisno

PENAFSIRAN Supersemar adalah ”penyerahan atau pengalihan kekuasaan” diyakini oleh pembawa naskah itu sendiri, Jenderal Amirmachmud cs. ”Lho , ini kan penyerahan kekuasaan” demikian Amirmachmud dalam perjalanan mobil sepulang dari istana Bogor membawa Supersemar itu. Ketika Sudharmono dan Moerdiono kesulitan mencari dasar hukum bagi pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), mereka bergembira setelah tahu keluar Supersemar.

Padahal, Presiden Soekarno menegaskan Supersemar itu hanya untuk bidang teknis keamanan, bukan politis keamanaan. Dan kerancuan pun segera menggelombang apalagi setelah Supersemar di-Tap MPRS-kan. Pertama, sudah jelas yang paling mengerti isi sebuah perintah tentu saja ya subjek pemberi perintah itu sendiri. Adalah janggal jika orang lain, bahkan yang diberi perintah sebagai figur terpercaya oleh yang memerintah, berpretensi lebih mengerti isi perintah.

Kedua, pada umumnya ahli hukum Tata Negara, terutama Dahlan Ranuwihardja SH, anggota MPRS, sangat heran kenapa executive order diubah begitu saja sebagai Tap MPR(S) tanpa bertanya dulu kepada pemberi perintah. ”Jadi enggak bisa dong MPR (S) melakukan sesuatu yang bukan wewenangnya.

Bukan hanya keliru memahami, Jenderal Soeharto sebagai pengemban Supersemar sengaja menyalahgunakan sebagai mandat politik dengan membubarkan PKI betapapun langkah itu secara kondisional adalah tepat. Karena itu, Presiden Soekarno terkejut dan marah dengan langkah Soeharto. Presiden lantas mengeluarkan SP 13 Maret 1966, yang tidak banyak diketahui umum dan generasi baru berhubung Soeharto dan rezim sengaja menyembunyikannya. Autobiografi Soeharto pun tidak pernah secuil pun mengatakannya.

SP 13 Maret itu dibawa oleh Waperdam II Leimena dan Brigjen KKO Hartono kepada Soeharto yang sesudah membacanya, Soeharto menyatakan pembubaran PKI itu adalah tanggung jawabnya sendiri. SP 13 Maret terdiri atas tiga hal yakni:a) mengingatkan bahwa SP 11 Maret itu sifatnya teknis/administratif, tidak politik, semata-mata adalah perintah mengenai tugas keamanan bagi rakyat dan pemerintah, untuk keamanan dan kewibawaan Presiden/Pangti/Mandataris MPRS; b) bahwa Jenderal Soeharto tidak diperkenankan melakukan tindakan-tindakan yag melampaui bidang politik, sebab bidang politik adalah wewenang langsung presiden, pembubaran suatu partai politik adalah hak presiden semata-mata; c) Jenderal Soeharto diminta datang menghadap presiden di Istana untuk memberikan laporannya (D & R, 12 September 1998).
Menghendaki Kekuasaan Terlebih dulu dapat dirunut betapa Soeharto sesungguhnya berkepentingan benar terhadap keluarnya Supersemar; atau dengan kata lain mengehendaki sesuatu kekuasaan sebagaimana kesaksian Jenderal Kemal Idris, Jenderal Mursjid, Jenderal Soemitro dan Ketua RT tempat kediaman Soeharto sekaligus kolega baiknya, yakni Mashuri SH, yang kelak diberi jabatan menteri dan terakhir Wakil Ketua MPR/DPR.

Jenderal Soeharto mengatakan, pada minggu kedua sebelum 11 Maret, rapat Staf Umum AD yang dipimpin Jendeal Soeharto memutuskan untuk memisahkan Bung Karno dari ”Durna-Durna”-nya dan para Durna akan ditangkap oleh RPKAD. Itulah yang kemudian mewujud dalam fenomena ”pasukan tak dikenal”, mengepung istana pagi hari saat Sidang Kabinet 11 Maret 1966, yang membuat Bung Karno diterbangkan ke Bogor.

Ketika kejadian itu dilaporkan kepada Soeharto, menurut Kemal Idris, maka Soeharto menulis pesan kepada Bung Karno yang dibawa Amirmachmud cs ke Istana Bogor. Isi pesannya, ”Saya tidak akan bertanggung jawab kalau saya tidak diberi kekuasaan untuk mengatasi keadaan ini.” (D&R, 12 September 1998).

Adapun Jenderal Mursyid, Asisten Menpangad Jenderal A Yani lebih tegas menyatakan Soekarno itu dikudeta dalam konteks bertemunya kepentingan pihak luar --Amerika cs-- dan pihak dalam negeri. Mursjid berbeda pendapat dengan analisis kudeta itu berjalan ”merangkak-rangkak” dengan tonggak-tonggak pokok: 1 Oktober atau G-30-S/PKI; 11 Maret 1966 dan penolakan pidato Presiden Nawaksara/Pelengkap Nawaksara.

”Saya tetap berpegang bahwa 1 Oktober kudetanya. Formalnya, terjadi pada tanggal 11 Maret dengan Supersemar, yang dikoreksi BK pada 13 Maret. Dengan kata lain, tanggal 1 Oktober merupakan langkah-langkah ke arah 11 Maret itu. Itulah aibnya Soeharto, ia ambil kekuasaan dengan paksa”, (Tajuk, 1-17 September 1998). Namun demikian ia tidak melihat Soeharto ”dalang” kejatuhan Bung Karno, bukan orang pertama dan orang tunggal.

Dalam pada itu, Mashuri SH menyatakan bahwa kejatuhan Bung Karno itu bukan creeping coup d'etat atau ”kudeta merangkak”, melainkan memang kudeta. ”Itu jelas kudeta, tidak pakai merangkak-rangkak. Jadi orang mengatakan sidang Nawaksara di sana itu dihabisi Soekarno, itu tanggal 11 Maret sudah terjadi kudeta. Jadi Soeharto mengepung istana dan Bung Karno terbang ke Bogor itu sudah kudeta. Begini saya pernah bilang pada Ruslan (Abdulgani?). Sidang MPRS Nawaksara itu hanya sebagai ijab kabul, tapi sebelum menyampaikan harus menghadap penghulu dulu, penghulunya ya, Sebelas Maret itu,” (Gema Reformasi, September 1998).
Rekonstruksi Tampaklah bahwa SP 11 Maret, sekaligus SP 13 Maret sebagai satu kesatuan perintah presiden membutuhkan rekonstruksi. Bukan hanya rekonstruksi, malahan suatu dekonstruksi pun perlu mengingat begitu besarnya kontroversi-- di antaranya yang pokok peranan Jenderal Soeharto pada khususnya dan Angkatan Darat pada umumnya.

Ben Anderson, ahli ilmu politik Cornell University yang dimusuhi rezim Orde Baru misalnya menyebutkan Supersemar cuma langkah terakhir dari serangkaian strategi. Adapun langkah awalnya menurut dia adalah di sekitar 1964 saat ”geng Soeharto” membuka jalan rahasia langsung ke Malaysia, Inggris dan Amerika di luar jalur Nasution dan Yani --saat itu Soeharto adalah panglima dengan tugas konfrontasi terhadap Malaysia.

Saat-saat itulah Benny Moerdani dan Ali Moertopo --yang disebutnya anggota ”geng” tadi justru membuka jalur sendiri ke Washington dengan memakai orang-orang eks-PRRI, Des Alwi cs. ”Ini ada buktinya. Data-datanya saya ada di Amerika. Nah, kalau mereka tidak berambisi untuk posisi paling atas, untuk apa itu. Itu jelas semacam pengkhianatan terhadap politik yang ada waktu itu,” demikian Anderson, yang Cornell Paper-nya untuk G-30-S/PKI berseberangan dengan Buku Putih pemerintah Orde Baru (Detak, 9-15 Maret 1999).

Karena itu bisa dimengerti adanya suatu analisis, betapapun Soeharto dan Nasution mempunyai pertentangan khususnya ketika selaku Pangdam Diponegoro Soeharto dicopot atas kasus dagang dan penyelundupan; sewaktu pasca-G-30-S/PKI mereka dipertemukan oleh adanya musuh bersama, yakni: Soekarno dan para pendukung setianya semisal Soebandrio dan Chaerul Saleh, serta PKI yang saat itu dikambinghitamkan sebagai satu-satunya dalang dan penggerak G-30-S. (Detak, 2-8 Maret 1999).

Dalam hubungannnya dengan hilang atau dihilangkannya SP Maret itu sendiri, boleh jadi versi yang paling mendekati kebenaran ialah kesengajaan Soeharto dan ”geng”nya untuk kurang beritikad baik. Pertama, Soeharto tidak melaksanakan dengan baik perintah untuk :menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan presiden serta melaksanakan dengan pasti segala ajaran pemimpin besar revolusi; yang secara eksplisit diperintahkan dalam SP 11 Maret.

Kedua, kesaksian Soebandrio membenarkan bahwa dalam naskah asli SP 11 Maret sebenarnya ada tertera point:setelah keadaan terkendali Supersemar diserahkan kembali kepada Presiden Soekarno. Hal ini dikuatkan oleh Kemal Idris, ”Itu biasanya kalau ada surat perintah untuk melaksanakan tugas dan kalau sudah selesai ya harus lapor. Kewenangannya ya harus ditarik. Tapi itu tidak dilaksanakan oleh Soeharto, seolah-olah surat itu hilang dan dia mempergunakan itu untuk mendapatkan kekuasaannya sendiri.” (Detak, 2-8 Maret 1999). Tak mengherankan bagi Soeharto dan kelompoknya, SP 13 Maret perlu makin disembunyikan-lebih dari SP 11 Maret. (35)

–– Drs Slamet Sutrisno MSi, dosen Sejarah Pergerakan Nasional di Fakultas Filsafat UGM

Blog Dr : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/03/11/55437/Supersemar.Versus.SP.13.Maret

Saat-saat Jatuhnya Presiden Soekarno

Saat-saat Jatuhnya Presiden Soekarno

Perjalanan Terakhir Bung Besar

Jatuhnya Soekarno dari presiden merupakan peristiwa politik cukup menarik dan sangat bersejarah. Dimulai dengan Supersemar yang memberi "mandat" kepada Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan politik yang saat itu sangat kacau, sampai ditolaknya Pidato Nawaksara yang disampaikan oleh Presiden Soekarno.

Khusus mengenai Surat Perintah Sebelas Maret, menurut sebuah sumber, itu merupakan mandat atau perintah untuk menyelamatkan revolusi. Dan bukan pelimpahan kekuasaan, melainkan pelimpahan tugas. Menurut sumber itu pula, sebagai orang yang diperintahkan pemegang supersemar berkewajiban melaporkan kepada Soekarno apa yang dikerjakannya sesuai perintah itu.

Berikut ini adalah kronologis kejatuhan Soekarno yang dikutip dari berbagai sumber, dan sebagian besar, dikutip dari buku "Proses Pelaksanaan Keputusan MPRS No.5/MPRS/ 1996 Tentang Tanggapan Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara Republik Indonesia Terhadap Pidato Presiden/Mandataris MPRS di Depan Sidang Umum Ke-IV MPRS Pada Tanggal 22 Djuni 1966 Yang Berdjudul Nawaksara," dimulai dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).

Tanggal 11 Maret 1966

Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Revolusi/ Mandataris MPRS, mengeluarkan Supersemar, yang isinya antara lain: "Memutuskan dan memerintahkan: Kepada Letnan Jenderal Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi Pemimpin Besar Revolusi.

1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan pemerintah dengan panglima-panglima Angkatan lain dengan sebaik-baiknya.
3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung-jawabnya seperti tersebut diatas."


16 Maret 1966

Pangkopkamtib ---atas nama Presiden RI--- mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap sejumlah 15 menteri yang diduga terlibat G-30 S/PKI.

27 Maret 1966

Dilakukan perombakan terhadap Kabinet Dwikora. Sementara presiden tidak setuju kabinet itu dirombak. Banyak wajah-wajah baru yang dianggap kurang dekat dengan Presiden Soekarno. Tapi, tiga hari kemudian, kabinet itu pun dilantik.

21 Juni 1966

Jenderal TNI AH Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS dalam sidang MPRS. Sidang tersebut berlangsung sampai dengan 6 Juli 1966.

22 Juni 1966

Presiden Soekarno membacakan Pidato Nawaksara di depan Sidang Umum ke-IV MPRS, dan pimpinan MPRS melalui keputusannya No. 5/MPRS/1966 tertanggal 5 Juli 1966, meminta Presiden Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut.

6 Juli 1966

Sidang MPRS ditutup, dan mengeluarkan 24 Ketetapan, Sebuah keputusan, dan satu Resolusi. Salah satu diantaranya, Tap MPRS No. IX/MPRS/1966, yang menegaskan tentang kelanjutan dan perluasan penggunaan Supersemar.

17 Agustus 1966

Presiden Soekarno melakukan pidato dalam rangka peringatan hari Proklamasi yang dikenal dengan Pidato Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Pidato Jas Merah tersebut mencerminkan sikap Presiden sebagai Mandataris MPR, yang tidak bersedia untuk aturan yang ditetapkan oleh MPRS. Sehingga, hal itu menimbulkan reaksi masyarakat, dan diwarnai aksi demonstrasi dari masyarakat maupun mahasiswa.

1-3 Oktober 1966

Massa KAMI, KAPPI, dan KAPI, melakukan demonstrasi di depan istana merdeka. Mereka menuntut agar presiden memberi pertanggung-jawaban tentang peristiwa G-30-S/PKI. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya bentrokan fisik dengan pasukan Garnizun, sehingga memakan korban.

22 Oktober 1966

Pimpinan MPRS mengeluarkan Nota, Nomor: Nota 2/Pimp/MPRS/1966, yang meminta kepada Presiden Soekarno untuk melengkapi laporan pertanggungjawaban sesuai keputusan MPRS No.5/MPRS/1966.

30 Nopember 1966

KAPPI kembali melakukan demonstrasi ke DPR, dengan tuntutan yang sama seperti demonstrasi sebelumnya.

9-12 Desember 1966

Sekitar 200 ribu mahasiswa mendesak agar presiden Soekarno diadili.

20 Desember 1966

KAMI, KAPPI, KAWI, KASI, KAMI Jaya, KAGI JAYA, serta Laskar Ampera Arif Rahman Hakim (ARH) menyampaikan fakta politik kepada MA mengenai keterlibatan Presiden Soekarno dalam G-30-S/PKI

21 Desember 1966

ABRI mengeluarkan pernyataan keprihatinan, yang antara lain berbunyi butir ke-2), "ABRI akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun, pihak mana pun, golongan mana pun yang akan menyelewengkan Pancasila dan UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan PKI Pemberontakan Madiun, Gestapu PKI, DI-TII, Masjumi, PRRI-Permesta serta siapa pun yang tidak mau melaksanakan Keputusan-keputusan Sidang Umum ke-IV MPRS."

31 Desember 1966

Pimpinan MPRS mengadakan musyawarah yang membahas situasi pada saat itu, khususnya menyangkut pelaksanaan Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966 tersebut diatas, dan suara serta pendapat dalam masyarakat yang timbaul setelah adanya sidang-sidang Mahmillub yang mengadili perkara-perkara ex. Wapredam I dan ex. Men/Pangau.

6 Januari 1967

Pimpinan MPRS mengeluarkan surat nomor A9/1/5/MPRS/1967, ditujukan kepada Jenderal TNI Soeharto sebagai pengemban Ketetapan MPRS IX/Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Surat itu menegaskan seputar permintaan bahan-bahan yuridis/hasil penyidikan. Isinya antara lain: "Pimpinan MPRS mengkonstatasikan bahwa setelah berlangsungnya Sidang-sidang Mahmillub yang mengadili perkara-perkara ex-Waperdam I dan ex-Men/Pangau, telah timbul berbagai suara dan pendapat dalam masyarakat yang berkisar pada dua hal pokok, yaitu: - Tuntutan penyidikan hukum untuk menjelaskan/menjernihkan terhadap peranan Presiden dalam hubungannya dengan peristiwa kontra revolusi G-30-S/PKI. - Tuntutan dilaksanakannya Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966."

10 Januari 1967

Presiden Soekarno menyampaikan Pidato Pelangkap Nawaksara, yang isinya antara lain: "Untuk memenuhi permintaan Saudara-saudara kepada saya mengenai penilaian terhadap peristiwa G-30.S, maka saya sendiri menyatakan:

1. G.30.S ada satu "complete overrompeling" bagi saya.
2. Saya dalam pidato 17 Agustus 1966, dan dalam pidato 5 Oktober 1966 mengutup Gestok. 17 Agustus 1966 saya berkata "sudah terang Gestok kita kutuk. Dan saya, saya mengutuknya pula; Dan sudah berulang-ulang kali pula saya katakan dengan jelas dan tandas, bahwa "Yang bersalah harus dihukum! Untuk itu kubangunkan MAHMILLUB"
3. Saya telah autorisasi kepada pidato Pengemban S.P. 11 Maret yang diucapkan pada malam peringatan Isro dan Mi'radj di Istana Negara j.l., yang antara lain berbunyi:

"Setelah saya mencoba memahami pidato Bapak Presiden pada tanggal 17 Agustus 1966, pidato pada tanggal 5 Oktober 1966 dan pada kesempatan-kesempatan yang lain, maka saya sebagai salah seorang yang turut aktif menumpas Gerakan 30 September yang didalangi PKI, berkesimpulan, bahwa Bapak Presiden juga telah mengutuk Gerakan 30 September/PKI, walaupun Bapak Presiden menggunakan istilah "Gestok""(Gestok: Gerakan Satu Oktober, istilah Soekarno, Red)

10 Januari 1967

Pimpinan MPRS mengeluarkan Catatan Sementara tentang Pelengkap Pidato Nawaksara yang diumumkan Tanggal 10 Januari 1967. Catatan Sementara tersebut berisikan, antara lain: (a) bahwa Presiden masih meragukan keharusannya untuk memberikan pertanggungan-jawab kepada MPRS sebagaimana ditentukan oleh Keputusan MPRS No.5/MPRS/1966. (b) Perlengkapan Nawaksara ini bisa mengesankan seolah-olah dibuat dengan konsultasi Presidium Kabinet Ampera dan para Panglima Angkatan Bersenjata".

20 Januari 1967

MPRS mengeluarkan Press Release Nomor 5/HUMAS/1967 tentang Hasil Musyawarah Pimpinan MPRS tanggal 20 Januari 1967, yang isinya (terdiri empat point besar) antara lain (poin ke-4): "Perlu diterangkan bahwa dalam menghadapi persoalan-persoalan penting yang sedang kita hadapi, soal Nawaksara, soal penegakan hukum dan keadilan, soal penegakan kehidupan konstitusional, Pimpinan MPRS sejak beberapa lama telah mengadakan tindakan-tindakan dan usaha-usaha koordinatif dengan Pimpinan DPR-GR, Presiden Kabinet Khususnya Pengemban Ketetapan MPRS No. IX, dan lembaga-lembaga negara maupun lembaga-lembaga masyarakat lainnya..."

21 Januari 1967

Mengeluarkan Hasil Musyawarah Pimpinan MPRS Lengkap, yang terdiri dari tiga butir besar, antara lain (poin II), "Bahwa Presiden alpa memenuhi ketentuan-ketentuan konstitusional sebagai ternyata dalam surat beliau No. 01/Pres/67, khususnya yang termaktub dalam angka Romawi I: "Dalam Undang-Undang Dasar 1945, ataupun dalam Ketetapan dan Keputusan MPRS sebelum sidang Umum ke-IV, tidak ada ketentuan, bahwa Mandataris harus memberikan pertanggungan jawab atas hal-hal yang "cabang". Pidato saya yang saya namakan Nawaksara adalah atas kesadaran dan tanggungjawab saya sendiri, dan saya maksudkannya sebagai semacam "progress-report sukarela" tentang pelaksanaan mandat MPRS yang telah saya terima terdahulu". Yang berarti mengingkari keharusan bertanggung-jawab pada MPRS dan hanya menyatakan semata-mata pertanggungan jawab mengenai Garis-garis Besar Haluan Negara saja..." dst.

1 Februari 1967

Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Jenderal Soeharto, dengan nomor surat R.032/1967, sifatnya rahasia, dengan lampiran 2 (dua) berkas, serta perihal: Bahan-bahan yuridis/hasil penyudikan. Petikan laporan Team, pada bagian Pendahuluan itu, antara lain sebagai berikut: "Tujuan penyusunan naskah laporan ini untuk menyajikan data dan fakta yang telah dapat diperoleh selama dalam persidangan MAHMILLUB semenjak perkara NJONO dan SASTROREDJO, yang dalam pengumpulannya ditujukan untuk memperoleh bahan gambaran yang selengkap-lengkapnya terhadap PERTANGGUNGAN-DJAWAB YURIDIS PRESIDEN DALAM PERISTIWA G-30-S/PKI. Berdasarkan hasil-hasil persidangan tadi, maka PRESIDEN harus mempertanggung-jawabkan segala pengetahuan, sikap dan tindakannya, baik terhadap peristiwa G-30-S/PKI itu sendiri maupun langkah-langkah penyelesaian yang merupakan kebijaksanaan PRESIDEN selaku KEPALA NEGARA dan PANGLIMA TERTINGGI ABRI di dalam menjalankan pemerintahan negara dimana kekuasaan dan tanggung-jawab ada di tangan PRESIDEN, sesuai ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 beserta penjelasannya."

9 Februari 1967

Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) mengeluarkan Resolusi tentang Persidangan Instimewa MPRS, yang meminta kepada MPRS untuk mengundang dan menyelenggarakan Sidang Istimewa MPRS selambat-lambatnya bulan Maret 1967, serta meminta kepada Pemerintah c.q. Ketua Presidium Kabinet Ampera selaku Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban/Pengembangan Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966 untuk memberikan keterangan dan bahan-bahan dalam Sidang Istimewa tersebut untuk menjelaskan peranan Presiden dalam hubungannya dengan peristiwa Kontra Revolusi G-30-S/PKI untuk dapat dijadikan pegangan dan pedoman para Wakil Rakyat dalam menggunakan wewenang dan kewajibannya dalam Sidang Istimewa MPRS.

9 Februari 1967

DPR-GR mengeluarkan Penjelasan Atas Usul Resolusi DPR-GR tentang Sidang Istimewa MPRS. Pada tanggal yang sama DPR-GR mengeluarkan Memorandum mengenai Pertanggungan-jawab dan Kepemimpinan Presiden Soekarno dan Persidangan Istimewa MPRS.

11 Februari 1967

Empat panglima angkatan di tubuh ABRI bertemu Presiden Soekarno di Bogor, menyampaikan pendiriannya agar Presiden menghormati konstitusi dan Ketetapan MPRS pada Sidang Umum ke-IV.

12 Februari 1967

Presiden bertemu kembali dengan keempat Panglima tersebut, dan saat itu presiden meminta untuk melakukan pertemuan kembali esoknya.

13 Februari 1967

Para panglima mengadakan rapat membahas masalah pendekatan Presiden Soekarno tersebut. Sesudah bertemu dengan presiden, kemudian mereka sepakat untuk tidak lagi melakukan pertemuan selanjutnya.

16 Februari 1967

Pimpinan MPRS mengeluarkan Keputusan No. 13/B/1967 tentang Tanggapan Terhadap Pelengkapan Pidato Nawaksara, yang isinya: MENOLAK PELENGKAPAN PIDATO NAWAKSARA YANG DISAMPAIKAN DENGAN SURAT PRESIDEN NO. 01/PRES./'67 TANGGAL 10 JANUARI 1967, SEBAGAI PELAKSANAAN KEPUTUSAN MPRS NO.5/MPRS/1966. Dan pada tanggal yang sama dikeluarkan pula Keputusan MPRS No.14/B/1967 tentang Penyelenggaran dan Acara Persidangan Istimewa MPRS.

19 Februari 1967

Para Panglima dan Jenderal Soeharto bertemu dengan Presiden Soekarno di Istana Bogor. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesimpulan.

20 Februari 1967

Presiden Soekarno memberikan Pengumuman, yang isinya antara lain: KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA, Setelah menyadari bahwa konflik politik yang terjadi dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan Rakyat, Bangsa dan Negara, maka dengan ini mengumumkan: Pertama: Kami, Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa Undang-undang Dasar 1945. Kedua: Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Presiden, setiap waktu dirasa perlu. Ketiga: Menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia, para Pemimpin Masyarakat, segenap Aparatur Pemerintahan dan seluruh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk terus meningkatkan persatuan, menjaga dan menegakkan revolusi dan membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 seperti tersebut diatas. Keempat: Menyampaikan dengan penuh rasa tanggung-jawab pengumuman ini kepada Rakyat dan MPRS. Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Rakyat Indonesia dalam melaksanakan cita-citanya mewujudkan Masyarakat Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila." Pengumuman ini ditandatangani pada tanggal 20 Februari 1967 oleh Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi ABRI, Soekarno.

23 Februari 1967

Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/1996, melakukan Pidato melalui Radio Republik Indonesia. Sianya antara lain, memberi penegasan soal penyerahan kekuasaan oleh Presiden Soekarno kepada dirinya. Pada tanggal yang sama, 23 Februari 1967, (juga) DPR-GR mengeluarkan Resolusi No.724 tentang pemilihan Pejabat Presiden Republik Indonesia, beserta penjelasan terhadap resolusi tersebut.

24 Februari 1967

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia membuat pernyataan yang isinya antara lain, mengenai penyerahan kekuasaan pemerintah, dan menegaskan bahwa Angkatan Bersenjata akan mengamakan terselenggaranya Sidang Istimewa MPRS. Serta juga ditegaskan bahwa ABRI akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun dan golongan manapun yang tidak mentaati pelaksanaan kekuasaan pemerintahan, setelah berlakunya Pengumuman Presiden tanggal 20 Februaru 1967.

25 Februari 1967

Pemerintah mengeluarkan Keterangan Pers, mengenai telah dilakukannya penyerahan kekuasaan pemerintahan negara oleh Soekarno kepada Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, yakni Jenderal Soeharto.

7 Maret 1967

MPRS mengadakan sidang istimewa dengan menghasilkan 26 Ketetapan. Ketika sidang MPRS itu dilakukan, Mandataris duduk di barisan pimpinan MPRS yakni di sebelah kanan Ketua MPRS, tidak seperti biasanya duduk berhadapan dengan MPRS. Hasilnya, antara lain (seperti dituangkan dalam TAP MPR No. XXXIII/MPRS/1967), yakni Mencabut Kekuasaan Pemerintah dari Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga dilaksanakannya Pemilu.

MIS

Sumber: http://www.tempo.co.id/ang/min/02/05/utama7.htm
Edisi 05/02 - 05/Apr/1997

Jumat, 12 Maret 2010

Bung Karno dan Fotografi

Kopral Cepot:
Bahkan hingga akhir hayatnya, saat jasadnya terbujur kaku di Wisma Yaso, Jakarta, para fotografer masih berebut memotret wajahnya?dari dekat pula. Seperti dilaporkan wartawan Kompas dalam beritanya, sontak hal ini membuat berang Ratna Sari Dewi. "Cameraman jangan terlalu dekat. Jangan kurang ajar. Hormati Bapak," demikian Dewi mendamprat.

Barangkali dalam kesedihannya, janda muda itu tak menyadari: terlepas dari tugas kewartawanan, para juru kamera itu justru sedang memberikan penghormatan terakhir bagi almarhum suaminya. Bukankah, sebagaimana kesaksian para wartawan "kiblik" yang mengenalnya sepanjang revolusi kemerdekaan, Bung Karno tak pernah mau pergi ke mana-mana tanpa diiringi fotografer? Lagi pula, adalah sang proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia itu sendiri yang, "Selalu mengizinkan para fotografer memotret dirinya dari dekat, sementara wartawan tulis cuma berdiri di pojok," kata R.M. Soeharto, pensiunan juru kamera Berita Film Indonesia, mengenang.

Untuk ukuran kebanyakan kepala negara, ini sudah cukup jauh. Tidak bagi Sukarno. Kedekatannya dengan para fotografer tak terhenti pada acara-acara resmi, tapi juga berlaku dalam hubungan sehari-hari. Mengajak Mendur bersaudara dari Indonesia Press Photo Service (IPPHOS) sarapan pagi di serambi istana, atau menghentikan mobil kepresidenan di pinggir jalan sekadar untuk memberi tumpangan pada juru kamera yang tertinggal angkutan, hanyalah beberapa contoh kebiasaan-kebiasaan Bung Karno yang di masa rezim Soeharto, dan bahkan dalam banyak pemerintahan di belahan dunia lain hingga saat ini, cuma bisa terjadi dalam mimpi para wartawannya.

Tak mengherankan bila Dewi, yang di antara istri-istri Presiden Sukarno termasuk paling akhir mengenal dunia ini, salah paham. Hubungan khusus antara Bung Karno dan para fotografer memang tak bisa dilihat dan dinilai hanya dari protokol yang pada umumnya terkait dengan status dan jabatan kepresidenan. Bahkan tak bisa diukur berdasarkan takaran yang berlaku bagi orang-orang penting atau pejabat tinggi pada umumnya. Ia memiliki formulanya sendiri.

Dalam editorial yang ditulisnya 31 tahun silam, wartawan senior Jakob Oetama menyitir bahwa dalam dunia Bung Karno, "Kekenesan pribadinya berperanan." Sejauh yang berhubungan dengan citra diri, hal itu sudah bisa kita rasakan, bahkan sejak gambar-gambar dirinya dibuat oleh para tukang potret tak bernama di awal abad silam.

Berpose di deretan paling belakang, atau dikelilingi rekan-rekan sebangku sekolahnya di Hoogere Burgerschool (HBS) Surabaya? kebiasaannya pada periode ini? memang tak percuma Sukarno muda diberi nama si Putra Fajar. Pasang aksi. Penuh gaya dari ujung destar hingga ujung jarik dan selopnya. Seolah dalam foto-foto keroyokan yang kini sudah menguning itu cuma ada Sukarno seorang. Demikian pula di zaman pendudukan Jepang. Berpidato di depan podium Chuo Sangi-in (Dewan Pertimbangan Pusat), memimpin barisan romusha, atau menyeruput teh hangat di rumah peristirahatan Panglima Angkatan Darat Daerah Selatan, Marsekal Terauchi, di Saigon, Sukarno semakin menegaskan kehadirannya dalam setiap penampilan, seiring dengan pertumbuhan ambisi dan ketokohannya. Sejak itu, orang lain yang menjadi gambar latar baginya. Lihat: setelah proklamasi kemerdekaan, secara tersirat dan tersurat Bung Hatta selalu satu-dua langkah di belakangnya, juga Sjahrir, bahkan Amir Sjarifuddin, yang mengepalai Kementerian Penerangan RI. Padahal tiga orang lulusan Belanda itu dikenal mempunyai selera dan gaya tinggi ala Eropa. Yang tak ada pada mereka, ya, itu tadi: "kekenesan." Seluas apa pun dimensi kemanusiaannya, di mata publik, Hatta yang kalem dan lembut seolah cuma punya satu pesona, yakni sebagai orang nomor dua abadi. Sjahrir juga cuma punya satu: sebagai "Bung Kecil", julukan setengah meledek-setengah memuji yang muncul secara tak terduga setelah sosoknya yang memang kecil dan pendek itu dipotret bersama "dua orang bule jangkung" lawan berundingnya, jenderal pasu-kan Inggris Christison dan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Mook. Idem dengan Amir Sjarifuddin, itu pun baru di akhir hayatnya, saat pencinta karya klasik Barat itu dipotret asyik membaca naskah Romeo & Juliet di gerbong kereta yang membawanya dari Madiun ke Yogyakarta sebagai terhukum mati.

Tan Malaka lebih parah lagi. Kita hanya pernah mengenal wajahnya dari selembar pas foto (yang mana menghiasi semua buku-bukunya yang kembali digandrungi orang dewasa ini). Sebaliknya, ribuan foto yang dibuat para fotografer IPPHOS, Antara, BFI, bahkan dari dinas penerangan Belanda, Regering Voorlichtingdienst, boleh diajukan sebagai bukti: Bung Karno punya seribu daya pikat untuk seribu peristiwa. Ada Presiden Sukarno sang pemersatu di atas panggung. Ada Presiden Sukarno sebagai kepala negara yang merakyat, siap menggulung pipa celana dan mencemplungkan kakinya ke luapan air got di desa-desa. Ada Bung Karno seorang connoisseur kesenian, asyik mengobrol dengan para seniman di studio mereka. Juga Sukarno sebagai bapak negara, mengajar baca-tulis mbok-mbok buta huruf atau menyalami pengemis di Malioboro. Sukarno pemerhati otomotif, Sukarno sang "lady killer", dan sebagainya.

Malah, di arsip IPPHOS, masih ada puluhan negatif asli tentang Sukarno yang sejauh ini luput dari publikasi. Di situ digambarkan Sukarno sebagai seorang lelaki dan bapak, tanpa embel-embel, menikmati liburannya. Naik getek sembari menggendong Guntur kecil. Main bola di lapangan tanah dengan bocah-bocah kampung. Lantas mengaso di atas tikar pandan di bawah naungan pohon-pohon. Berkelakar dengan gadis-gadis desa yang memikul dagangan ke pasar. Berbagi nasi bungkus dengan para pembantunya. Menyusuri pinggir sungai hanya ditemani seorang prajurit (satu-satunya yang terlihat dalam semua rekaman bertanggal Juni 1947 itu) yang berada beberapa langkah di belakangnya. Begitu alami, begitu intim. Sampai-sampai nyaris saja kita dibuat lupa olehnya: adegan-adegan yang penuh dengan spontanitas itu direkam bukan oleh anggota keluarga Bung Karno atau sahabatnya yang paling dekat, melainkan melalui mata lensa seorang juru foto profesional yang memang hadir di situ dalam rangka tugas. Artinya, momen-momen bersahaja itu bukan lagi sekadar persoalan "kekenesan" saja, tapi juga sudah memasuki masalah hitung-hitungan yang matang.

Bandingkan foto piknik ini dengan acara konferensi pers yang mempertemukan kabinet pertama RI dengan wartawan asing, 4 Oktober 1945. Dari 16 orang pejabat tinggi kita, hanya 4 tokoh?Sukarno, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Alisastroamidjojo, Menteri Sosial Iwa Kusumasumantri, dan juru bicara Sukardjo Wirjopranoto? yang berdasi. Pun demikian tak semuanya mengenakan jas. Di antara yang memilikinya adalah Menteri Luar Negeri Subardjo, walaupun setelannya itu terlihat terlalu sempit dan kependekan untuk badannya yang gemuk.

Sebaliknya, Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin, yang baru dua hari sebelumnya dilepaskan dari tahanan Jepang, mengenakan jas yang tampak kedodoran dan cuma dipadu dengan celana pendek ala kaum sekolahan zaman Hindia Belanda. Bahan pakaian sesuatu yang langka sepanjang penjajahan Jepang, bahkan lama sesudah itu. Toh, hari itu Bung Karno bukan saja yang paling parlente dan penuh percaya diri. Ia juga sudah siap dengan setelan yang akan menjadi seragam khasnya sebagai pemimpin negara. Ditinjau dari sudut itu, semua dokumentasi yang dibuat tentang Bung Karno akan memperlihatkan pola yang sama, apa pun kejadian dan di mana pun lokasinya. Bung Karno tahu bagaimana menyenangkan hati para juru kamera (dan sebagai buntutnya menyenangkan hatinya sendiri). Ia tahu kapan harus tampil serius--tengok foto terkenal pembacaan teks proklamasi kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, karya Frans Mendur?kapan bersahaja, dan kapan harus menggoda.

Barangkali inilah rahasia Bung Karno yang sesungguhnya. Ketika Presiden Sukarno ditangkap oleh serdadu Belanda yang menyerbu Yogyakarta pada aksi polisional kedua tahun 1948, ia membiarkan dirinya dipotret oleh juru kamera musuh. Raut wajahnya tenang, nyaris dingin. Dibalut pakaian yang licin disetrika, selembar jas panjang menjuntai dari lengannya. Langkahnya pasti bak seorang gentleman Inggris. Dan sebagaimana seorang kelas tinggi, seorang ajudan yang menenteng koper terlihat mengiringi di sisinya. Sang fotografer boleh berbangga ia mendapatkan materi eksklusif bagi propaganda kerajaannya, tapi seluruh penampilan Bung Karno saat itu memperlihatkan sebaliknya: betapa wibawa, dan kebenaran, sebenarnya ada di tangan Republik Indonesia. Yang agresor, yang salah, itu justru Belanda. Setelah Belanda mundur, dengan perhitungan yang sama Presiden Sukarno menugasi Letnan Kolonel Soeharto, wartawan Rosihan Anwar, dan fotografer IPPHOS Frans Mendur (perhatikan komposisi orang yang dipilihnya) untuk menjemput Panglima Besar Jenderal Sudirman di markas gerilyanya, dekat Wonosari. "Untuk menghindari kesan telah terjadi perpecahan," Rosihan Anwar mencatat.

Sang Jenderal, yang hidup dengan paru-paru tinggal sebelah itu, sampai harus ditandu menembus hutan dan bukit untuk tiba di serambi kediaman Presiden RI keesokan harinya. "Ketika kami tiba, suasana sangat tegang," tutur Tjokropranolo, pengawal pribadi Panglima Besar (belakangan menjabat Gubernur DKI). Sudirman masih marah kepada Sukarno dan Hatta, yang ingkar janji untuk turut bergerilya dan malah membiarkan dirinya ditangkap Belanda. Ia hanya berdiri kaku dengan sebelah tangannya menggenggam tongkat, tapi Sukarno serta-merta merangkul tubuhnya yang ringkih.

Seketika itu pula matanya menangkap sosok Frans Mendur yang memegang kamera. Abdoel Wahab dan M. Sayuti dari Antara, yang hadir tapi tak memotret karena kehabisan film, menjadi saksi mata. "Momennya dapat tidak?" tanya Bung Karno kepada fotografer kesayangannya itu. Kepala IPPHOS di Yogya itu menggelengkan kepala. "Terlalu cepat," jawabnya. Pada saat bersamaan, Kepala BFI, R.M. Soetarto, yang datang terlambat, baru saja melangkah ke serambi. Ia, sebagaimana Frans Mendur, menerima instruksi yang sama dari Presiden RI. "Kalau begitu, diulang adegan zoentjes-nya," kata Bung Karno. Puluhan tahun kemudian, foto inilah yang muncul di buku-buku sejarah. Di bawahnya, besar kemungkinan kita akan mendapatkan kalimat yang bombastis, yang menggambarkan betapa "Panglima Tertinggi Bung Karno dan Panglima Besar Sudirman laksana kakak-adik yang telah sekian lama tak bersua. Rindu yang tertanam dan tertahan menjelmakan sikap yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata." Melihat kerangka waktu ketika foto-foto itu dibuat, pemahaman Bung Karno terhadap kekuatan fotografi dan pencitraan memang luar biasa. Ini aspek yang tak kalah pentingnya.

Apa yang dilakukannya bekerja sama dengan para juru kamera masih merupakan sesuatu yang baru bagi zamannya, bahkan nyaris tak dikenal di antara pejabat-pejabat tinggi Hindia-Belanda di zaman sebelumnya. Para gubernur jenderal biasa memboyong rombongan fotografer, termasuk menyediakan fasilitas kamar gelap di atas kapal api yang membawa mereka keliling Nusantara, tapi tak satu pun yang bisa menandingi aksi dan gaya Sukarno yang begitu alamiah.

Di Eropa, Hitler memiliki kesadaran yang sama tentang propaganda. Sayang, pesan dan kepribadiannya tak selalu menunjang citranya. Di Amerika Serikat semasa depresi ekonomi tahun 1930-an, Presiden Roosevelt menjadi suara yang mempersatukan rakyatnya. Namun, sedikit yang mengenang wajahnya. John Kennedy yang pertama berhasil. Belakangan juga Bill Clinton, antara lain melalui buku Clinton: Portrait of Victory (Warner Books, 1993) karya fotografer P.F. Bentley. Toh, apa yang mereka kerjakan ibarat mainan kanak-kanak. Kennedy diliput oleh para fotografer muda Magnum, tapi Sukarno dipotret Henri Cartier-Bresson, "embah"-nya Magnum. Clinton cuma seorang politisi yang pandai meniup saksofon, Bung Karno bisa memproklamasikan kemerdekaan, mendalang, merancang bangunan, dan main "bal-balan" dengan anak-anak kampung.

Ketika Kennedy dikerubungi para fotografer Magnum, di awal tahun 1960-an, Bung Karno sudah tiga dasawarsa merajai lapangan. Berdesak-desakan bersama rakyat biasa saat Pemilihan Umum 1955, melantai bersama putrinya, Megawati, dalam sebuah resepsi istana, atau sekadar menjahili Bung Hatta di meja makan, Bung Karno hafal luar kepala apa yang dibutuhkan para fotografer untuk rekaman mereka. Pada periode ini, seluruh pose dan gerak-geriknya telah mencapai stilisasi dari aksi dan gaya pada masa-masa sebelumnya. Yang baru cuma aksesorinya?kacamata hitam, tongkat komando, bintang jasa. Dalam suasana tahu sama tahu itu, segalanya jadi lebih efisien. Lebih pasti, tapi terkadang juga lebih terasa sebagai sebuah formula. Senyum dan mimik Bung Karno?betapapun sejak awal selalu penuh "kekenesan" dan perhitungan?pada saat itu lebih menyerupai milik seorang aktor profesional: siap dijadikan poster ukuran raksasa dan digelar sebagai tontonan massa.

Pada akhirnya, Sukarno dengan segala "kekenesan" dan hitung-hitunganya cuma menjadi karikatur dari dirinya sendiri, seperti Elvis gendut yang tampil di Las Vegas. Tetapi ketika maut datang, terbukti Bung Karno juga yang menang jackpot. Kematian tak menghentikan apa-apa. Pers tetap berburu gambarnya. Para pemujanya mengenang dan menghormatinya, tidak dengan cara menenteng puluhan buku-buku yang ditulisnya, atau meneriakkan slogan-slogan yang sudah susah diucapkan. Mereka cukup mengusung fotonya dari atas metromini, atau menempelnya di bemper rombeng bajaj, dan Bung Karno "hidup" kembali. Coba, tanya saja soal Golkar dan Soeharto.

Sumber : Tempo Majalah Berita Mingguan, 14/XXX 04 Juni 2001
Sumber: http://sukasejarah.org/index.php?topic=164.0;wap2